BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dalam hukum Indonesia perkawinan
mendapatkan perhatian tersendiri. Secara substantif, hukum perkawinan Indonesia
merupakan penjabaran hokum perkawinan dalam Islam. Sebagai negara dengan
penduduk muslim terbesar di dunia, wajar jika bangsa Indonesia menjadikan Islam
sebagai rujukan perundang-undangan, termasuk dalam perkawinan. Pernikahan di
dalam Islam merupakan sebuah peristiwa sakral, sekaligus juga peristiwa profan.
Sakral mengandung makna bahwa pernikahan diyakini membawa keramat, suci, dan
bermakna ibadah. Hal ini terutama karena melalui pernikahan terdapat peristiwa
pendeklarasian sesuatu yang tadinya haram menjadi halal atas nama Allah swt.
Laki-laki dan perempuan sebelum menikah haram hukumnya bersentuhan, apalagi
berhubungan badan, akan tetapi, dengan adanya pernikahan yang dilakukan hanya
dengan mengucapkan akad, sesuatu yang haram berubah menjadi halal, bahkan
bernilai ibadah di sisi Allah swt. Banyak orang yang menghalalkan sesuatu yang
sebetulnya haram hukumnya dilakukan, misalnya orang yang melakukan zina. Akan
tetapi, melalui akad yang dilakukan di depan penghulu, orang tua, wali, saksi,
dan dilengkapi dengan pelbagai persyaratan, maka hubungan antara laki-laki dan
perempuan yang tadinya haram berubah menjadi halal. Pada saat akad pernikahan
dilakukan, yang hadir meresmikan bukan hanya manusia, tetapi juga
makhluk-makhluk spiritual, seperti malaikat dan jin. Intinya, yang menjadi
saksi dalam sebuah pernikahan bukan hanya manusia, tetapi—seperti halnya pernikahan
antara Adam dan Hawa—disaksikan oleh para malaikat yang turun dari langit dan
para jin. Pernikahan merupakan sebuah upaya menuju terciptanya makhluk Tuhan
yang ideal. Secara ideal, makhluk Tuhan hidup berpasang-pasangan (laki-laki dan
perempuan). Tidak sempurna kehadiran manusia secara fisik bagi seseorang yang
belum berpasangan (menikah). Itulah sebabnya, dalam kamus Bahasa Arab Lisânul
'Arab, disebutkan bahwa orang yang belum mempunyai suami atau istri
dikategorikan sebagai yatim. Jadi, yang dimaksud yatim bukan hanya anak kecil
yang ditinggal mati oleh orang tuanya (bapak atau ibu), tetapi juga bagi semua
orang yang belum menikah, baik laki-laki maupun perempuan. Yang dimaksud yatim
adalah al inqita 'anisysyai (orang yang membutuhkan bantuan). Dengan demikian,
jika dikaitkan dalam konteks kodrat manusia yang diciptakan secara berpasangan,
maka bagi orang yang belum berpasangan termasuk ke dalam kategori yatim. Oleh
karena itu, siapa saja yang membantu orang untuk mendapatkan jodoh atau paling
tidak mendoakan, maka hal itu bernilai pahala.
Dalam sebuah
ayat disebutkan : Artinya : "Dan
kawinkanlah orang-orang yang sendirian (lajang) di antara kamu." (QS An
Nur :32)
Dalam tujuannya, UU perkawinan
berfungsi sebagai guide bagi pelaksanaan perkawinan dalam rangka menjaga nilai luhur sebuah perkawinan. Dalam Islam
perkawinan bertujuan membentuk
keluarga yang harmonis, sejahtera, dan berkualitas; keluarga yang berkualitas. secara spiritual dan juga material.
Secara spiritual, keluarga adalah wadah yang akan memberikan nuansa kesalehan spiritual dengan menjadikan anggotanya
sebagai makhluk yang taat beragama.
Dan secara material keluarga memberikan kesejahteraan bagi segenap anggotanya dengan terpenuhinya
kebutuhan keluarga. UU Perkawinan
disusun dalam rangka menjaga semangat tersebut. Bahwa melalui UU Perkawinan itu diberikan perlindungan
dari hal-hal yang dapat merusak nilai keluhurannya.
Dengan kata lain, UU Perkawinan bertujuan melindungi hak dan kewajiban masing-masing anggota keluarga dari
kemungkinan sebuah ketidakadilan dan hal-hal
destruktif lainnya.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana
Sejarah Hukum keluarga Islam Di Idonesia
2. bagaimana
kedudukan hokum keluarga islam di Indonesia
3. bagaiman proses pembentukan hokum
islam di indonesia
C. Tujuan
1. Untuk
mengetahui sejarah Hukum Keluarga Islam di Indonesia
2. Untuk
mengetahui komponen fiqh hokum keluarga islam di indonesia
3. Untuk
mengetahui konfigurasi pembentukan hokum di indonesia
BAB II
PEMBAHASAAN
A.
Sejarah Awal Perkembangan Hukum Keluarga Islam di Indonesia
Beberapa
ahli menyebut bahwa hukum Islam yang berkembang di Indonesia bercorak
syafiiyyah. Ini ditunjukkan dengan bukti-bukti sejarah diantaranya, Sultan
Malikul Zahir dari Samudra Pasai adalah seorang ahli agama dan hukum Islam
terkenal pada pertengahan abad ke XIV M. Melalui kerajaan ini, hukum Islam
mazhab Syafii disebarkan ke kerajaan-kerajaan Islam lainnya di kepulauan
Nusantara. Bahkan para ahli hukum dari Kerajaan Malaka (400-500 M) sering
dating ke Samudra Pasai untuk mencari kata putus tentang
permasalahan-permasalahan hukum yang muncul di Malaka.
Selanjutnya
Nuruddin ar-Ramri (w.068 H/658 M) yang menulis buku hukum Islam berjudul Sirat
al-Mustaqim pada tahun 628 dapat disebut tokoh Islam abad XVII M. Kitab Sirat
al-Mustaqim merupakan buku Islam pertama yang disebar luaskan ke seluruh
Nusantara. Kemudian pada abad XVIII M, tokoh islam dalam bidang hukum Islam
adalah Syekh Irsyah al-Basyari (70-82 M). Ia menulis kitab fikih yang berjudul Sabil
al-Muhtadin li Tafaqquh fi Amr al-Din, yang bercorak Syafiyyah, dijadikan
pedoman untuk menyelesaikan sengketa di kesultanan Banjar.
Memasuki
abad XIX M, Tokoh yang layak diperhitungkan adalah Syaikh Nawawi al Bantani
yang lahir di Banten (Serang) (83-879) Karya Fikihnya yang sangat terkenal adalah
Uqud al-Lujain (Mengenai kewajiban suami-istri) yang merupakan kitab
wajib bagi santri-santri di pesantren-pesantren di Indonesia sampai saat ini.
Corak Syafiiyyah tidak saja terlihat dari kitab-kitab yang ditulis dan
digunakan, tetapi tampak pada praktik keagamaan Umat Islam sehari-hari.
Menarik
untuk dicermati, perkembangan hukum Islam di Indonesia pada masa-masa menjelang
abad XVII, XVIII dan XIX M baik pada tataran intelektual dalam bentuk pemikiran
dan kitab-kitab juga dalam praktik-praktik keagamaan dapat dikatakan cukup
baik. Dikatakan cukup baik karena hukum Islam di praktikkan oleh masyarakat
dalam bentuk yang hampir bias dikatakan sempurna, mencakup masalah muamalah, ah
wal al syakhsiyyah (perkawinan, perceraian dan warisan), peradilan, dan
tentu saja dalam masalah Ibadan. Tidak itu saja, hukum Islam menjadi system
hukum mandiri yang digunakan di Kerajaan-Kerajaan Islam Nusantara. Tidaklah
salah jika dikatakan pada masa itu jauh sebelum Belanda menancapkan kakinya di
Indonesia, hukum Islam menjadi hukum yang positif di Nusantara.
B. Al-Ahwal al-Syakhsiyah sebagai komponen Fiqh al-Islam
Dalam dunia Ilmu Fiqh dikenal adanya bidang Al-Ahwal al-Syakhsiyah
atau Hukum Keluarga, yaitu fiqh yang mengatur hubungan antara suami- isteri, anak,
dan keluaganya. Pokok kajiannya melipiti: 1). Munakahat, 2). Mawaris, 3)
wasiyat, 4). Wakaf. Mengenai wakaf, memang ada kemungkinan masuk ke dalam
bidang ibadah apabila dilihat dari maksud orang mewakafkan hartanya (untuk
kemaslahatan umum), namun dapat dikategorikan dalam bidang al-ahwal
al-syakhsiyah apabila wakaf itu wakaf zuri, yakni wakaf untuk keluarga.
Munakahat/pernikahan
merupakan akad yang menghalalkan pergaulan antara seorang pria dan seorang
wanita serta menetapkan hak-hak dan kewajiban diantara keduanya. Pembahasan
fiqh munakahat, mencakup topic-topik: peminangan, akad-nikah, wali nikah, saksi
nikah, mahar, mahram, rada’ah, hadanah, hal-hal yang berkaitan dengan putusnya
perkawinan, iddah, ruju’, ila’, zihar, li’an, nafkah, dll. (menurut UU.no.1/74
ttg Perkawinan, perkara yang ada dalam bidang perkawinan sejumlah 22 macam).
Mawaris/kewarisan
mengandung pengertian tentang hak dan kewajiban ahli waris terhadap hata
warisan, menentukan siapa saja yang berhak terhadap harta warisan, bagaimana
cara pembagiannya untuk masing-masing ahli waris. Fiqh Mawaris disebut juga
Fara’id, karena mengatur tentang bagian-bagian tertentu yang menjadi hak para
ahli waris. Pembahasan Fiqh Mawaris mencakup masalah: tajhiz/perawatan jenazah,
pembayaran hutang dan wasiyat, kemudian tentang pembagian harta warisannya. Di
samping itu dibahas pula mengenai penghalang untuk mendapatkan warisan, juga
dibicarakan tentang zawil arham, hak anak dalam kandungan, hak ahli waris yang
hilang, hak anak hasil perzinahan, serta masalah-maslah khusus.
Wasiyat adalah pesan
seseorang terhadap sebagian hartanya yang diberikan kepada orang lain atau
lembaga tertentu yang pelaksanaannya ditangguhkan setelah ia meninggal dunia.
Pembahasannya meliputi: orang yang berwasiyat dan syaratnya, orang yang diberi
wasiyat dan syaratnya, hukum bagi penerima wasiyat yang membunuh pemberinya,
tentang harta yang diwasiyatkan dan syaratnya, hubungan antara wasiyat dengan
warisan, tentang lafaz dan tata cara berwasiyat, tentang penarikan wasiyat, dan lain-lain.
Wakaf adalah
penyisihan sebagian harta benda yang bersifat kekal zatnya dan mungkin diambil
manfaatnya untuk maksud/tujuan kebaikan. Di dalam kitab-kitab fiqh dikenal
adanya istilah wakaf zuri (keluarga) dan wakaf khairi (untuk kepentingan umum).
Pembahasan mengenai wakaf meliputi: syarat- syarat bagi orang yang mewakafkan,
syarat- syarat bagi barang yang diwakafkan, syarat-syarat bagi orang yang
menerima wakaf, syigat/ucapan dalam pewakafan, mengenai macam dan siapa yang
mengatur barang wakaf beserta hak dan kewajibannya, tentang penggunaan barang
wakaf, dan lain sebagainya.
C. Konfigurasi Pembentukan Hukum Islam
di Indonesia
Pembentukan
hukum di Indonesia, dalam arti pembangunan hukum nasional sesungguhnya telah
berlangsung sejak tahun 1970-an dan sampai saat ini belum dilakukan evaluasi
secara mendasar dan komprehensif terhadap kinerja model hukum sebagai sarana
pembaharuan masyarakat. Selama ini ukuran keberhasilan pembangunan hukum selalu
dilihat dari segi jumlah produk hukum yang telah dihasilkan oleh lembaga yang
berhak mengesahkan undang-undang.
Dari
perjalanan sejarah bangsa Indonesia, dapat disimpulkan bahwa hukum yang berlaku
saat ini sangat dipengaruhi oleh kekuatan politik; paling tidak dapat dilihat
dalam aspek politik hukum nasional. Demikian pula halnya dengan hukum Islam di
Indonesia, ia senantiasa berada dalam pengaruh kekuatan politik. Oleh karena
itu, konfigurasi pembentukan hukum Islam di Indonesia selalu diiringi dengan
verted interest politik. Di Indonesia, proses pembentukan hukum Islam ke dalam
hukum nasional ditandai dengan masuknya beberapa aspek Islam ke dalam
undang-undang, baik yang langsung menyebutkannya dengan istilah hukum Islam,
maupun yang tidak menyebutkan langsung. Pembentukan hukum Islam ke dalam hukum
nasional memang menimbulkan maslahah baru, artinya harus ada unifikasi hukum
meskipun memiliki sisi positif dalam hal memenuhi kebutuhan hukum bagi umat
Islam. Untuk itu, dibutuhkan unifikasi dan ini tidak bisa terjadi dengan
sendirinya, melainkan dibutuhkan kekuatan politik. Daniel S.Lev mengemukakan
bahwa hukum daam Islam dipisahkan dari kepentingan khusus masyarakat lokal dan
digeneralisasikan bagi kepentingan segenap umat, dan hukum Islam adalah hukum
ketuhanan yang berlaku bagi setiap muslim di manapun berada. Pembentukan
hukum Islam ke dalam hukum nasional tidak perlu seluruhnya dilakukan. Ketentuan
hukum Islam yang perlu dijadikan hukum nasional adalah hukum yang
pelaksanaannya memerlukan bantuan kekuasan negara dan berkorelasi dengan
ketertiban umum. Salah satu contohnya adalah dalam masalah kekuasaan peradilan,
hukum keluarga, perbankan syari’ah, dan lain sebagainya.
1. Produk Hukum Nasional yang bersumber
dari Hukum Islam bidang Keluarga
Tiga produk hukum nasional yang bersumber
dari hukum Islam yakni:
1.
Undang-undang no. 1/1974 tentang
Perkawinan
2.
Undang-undang no.41/2004 tentang Wakaf,
3.
Undang-undang no. 3/2006 tentang
Perubahan Undang-undang no. 7/1989 tentang Peradilan Agama.
1.1. Undang-undang
no. 1/1974 tentang Perkawinan
Peranan
hukum Islam dalam persoalan perkawinan bagi muslim Indonesia dengan jelas
tercantum dalam pasal 2 ayat (1) yang berbunyi: perkawinan adalah sah apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu. Bagi
orang Islam di Indonesia, sahnya perkawinan adalah apabila dilaksanakan sejalan
dengan prinsip-prinsip hukum dalam Islam. Perkawinan yang merupakan perjanjian
suci antara seorang pria dengan seorang wanita, menurut Islam seharusnya
didasarkan atas asas:
a. Kesuka-relaan,
b. persetujuan ke dua belah pihak,
c. Kebebasan memilih,
d. Kemitraan suami dan isteri,
e. Untuk selamanya.
Adapun
tujuan dari pernikahan adalah untuk membentuk rumah tangga yang sakinah,
mawaddah, dan rahmah, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an, surat al-Rum: 21.
Undang-undang
Perkawinan juga mengatur hal ihwal tentang perkawinan dengan norma, kaidah, dan
prinsip hukum Islam seperti dalam masalah menentukan calon, khitbah, aqad
nikah, nafqah, perceraian, rujuk, dan sebagainya (ada 22 masalah).
1.2. Undang-undang
No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf
Dalam Islam, wakaf
dipandang sebagai salah satu instrumen ekonomi yang sangat potesial untuk
menopang kesejahteraan umat. Namun hingga saat ini peran dan fungsi wakaf belum
optimal. Salah satu penyebabnya adalah belum maksimalnya peraturan
perundang-undangan yang mengatur persoalan ini. Membutuhkan waktu yang cukup
lama pengaturan wakaf di Indonesia yang masih berada pada level di bawah
undang-undang, yakni Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Agama, Peraturan
Dirjen Bimas Islam Depag RI, dan beberapa aturan lain. Kehadiran
Undang-undang Nomor 41 tahun 2004 menjadi angin segar bagi umat Islam dalam hal
perwakafan. Sebagai salah satu instrumen dalam pengelolaan wakaf dan sebagai
manifestasi hukum Islam, terutama di Indonesia perlu memperhatikan kendala
selama ini, misalnya: masih belum terformatnya peraturan teknis pengelolaan
wakaf, dan masih adanya kelemahan dalam pengaturan hukumnya. Jika kendala ini
dapat diatasi, maka dengan undang- undang ini terdapat peluang untuk
mengimplementasikan hukum Islam tentang wakaf demi kesejahteraan masyarakat.
Undang-undang ini
mengandang beberapa aspek:
a. Hukum Islam sudah
menjadi bagian yang teritegrasi dan terunifikasi dalam hukum nasional.
b. Benda wakaf dalam
undang-undang ini telah diperluas dari sebelumnya yang tidak hanya pada benda
tidak bergerak, namun juga benda bergerak, seperti uang, saham, dan surat
berharga lainnya.
c. Persyaratan nazir
ditambah dengan pengelolaan harta wakaf ditinjau dari aspek penyalurannya.
d. Konsekuensi hukum
bagi penyimpangan dalam pengelolaan harta benda wakaf telah diatur dalam undang
–undang, bahkan dikategorikan dalam tindank pidana. Namun dalam penjelasan
pasal 62 ayat (2) dinyatakan tentang pemeberlakuan upaya tahkim atau arbitrase.
Jika tidak bisa diselesaikan, maka diproses melalui pengadilan atau Mahkamah
Syar’iyyah.
1.3. Undang-undang
Nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan UU.N0. 7 tahun 1989 tentang Peradilan
Agama.
Gelombang pasang
surut institusi Peradilan Agama (Al-Qada’ fi al-Islam) di Indonesia berjalan
seiring dengan pasang surut peran politik umat Islam11.
Terjadi tarik menarik antara kepentingan politik penguasa dengan kepentingan
umat Islam. Di satu sisi motivasi politik penguasa yang ada menciptakan legal
policy yang mengedepankan nilai sekularisme, dengan dalih hukum Islam tidak
relevan dengan kondisi sosial serta pertimbangan pluralisme masyarakat. Di sisi
lain, umat Islam mempersepsikan bahwa hukum Islam dan lembaga Peradilan Agama
adalah bagian dari kewajiban agama yang bukumnya wajib kifayah untuk
dipertahankan dan dilaksanakan. Sejalan dengan kesadaran politik hukum umat
Islam dan meluasnya kebutuhan umat Islam terhadap lembaga Peradilan Agama
sebagai media untuk menyelesaikan perkara, serta perkembangan hukum Islam di
Indonesia yang begitu cepat, masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam
mendorong agar dibentuk undang-undang Peradilan agama, akhirnya terwujud
pada tahun 1989, selanjutnya untuk menyesuaikan perkembangan, diadakan
perubahan terhadap undang-undang ini dengan Undang-undang no. 3 tahun 2006.
Kewenangan Peradilan Agama pun menjadi kian luas meliputi sejumlah bidang
pekerjaan. Pertama: Perluasan kewenangan dalam memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara di bidang a. Perkawinan, b. Kewarisan, c. Wasiat, d.
hibah, e. Wakaf, f. Zakat, g. sadaqah, h. Infaq, dan i. Ekonimi Islam
(syari’ah). Kedua: penyelesaian sengketa hak milik atau keperdataan lainnya.
Ketiga: Memberikan isbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal bulan
tahun hijriyah.
BAB III
KESIMPULAN
Hukum Islam di bidang keluarga
menempati posisi sangat penting dalam hukum Islam, hal ini berkaitan dengan
kontribusinya yang amat signifikan di dalam upaya menciptakan kehidupan
masyarakat yang tertib dan harmonis. Itulah sebabnya di banyak negara Islam
atau yang mayoritas warganya beragama Islam, utamanya Indonesia, bidang hukum
ini senantiasa mendapatkan apresiasi tinggi yang dimanifestasikan dalam bentuk
upaya berkelanjutan untuk melegalkan /legislasi hukum Islam menjadi hukum
positf ke dalam berbagai produk peraturan perundang-udangan RI, antara lain
dapat disebutkan: Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan,
Undang-undang nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf, Undang-undang nomor 7 tahun
1989 yang dirubah dengan Undang-undang nomor 3 tahun 2006 tentang Peradilan
Agama, dan sebagainya.
Daftar pustaka :
Cik Hasan Bisri. 1997. Peradilan
Islam dalam Tantangan Masyarakat Indonesia. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Al-Mawarid
Edisi XVIII Tahun 2008
Refleksi
Penerapan Hukum Keluarga Di Indonesia Prof.
Dr. Nasaruddin Umar,MA Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar