Minggu, 16 September 2012

MAKALAH HUKUM KELUARGA DI INDONESIA


BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
            Dalam hukum Indonesia perkawinan mendapatkan perhatian tersendiri. Secara substantif, hukum perkawinan Indonesia merupakan penjabaran hokum perkawinan dalam Islam. Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, wajar jika bangsa Indonesia menjadikan Islam sebagai rujukan perundang-undangan, termasuk dalam perkawinan. Pernikahan di dalam Islam merupakan sebuah peristiwa sakral, sekaligus juga peristiwa profan. Sakral mengandung makna bahwa pernikahan diyakini membawa keramat, suci, dan bermakna ibadah. Hal ini terutama karena melalui pernikahan terdapat peristiwa pendeklarasian sesuatu yang tadinya haram menjadi halal atas nama Allah swt. Laki-laki dan perempuan sebelum menikah haram hukumnya bersentuhan, apalagi berhubungan badan, akan tetapi, dengan adanya pernikahan yang dilakukan hanya dengan mengucapkan akad, sesuatu yang haram berubah menjadi halal, bahkan bernilai ibadah di sisi Allah swt. Banyak orang yang menghalalkan sesuatu yang sebetulnya haram hukumnya dilakukan, misalnya orang yang melakukan zina. Akan tetapi, melalui akad yang dilakukan di depan penghulu, orang tua, wali, saksi, dan dilengkapi dengan pelbagai persyaratan, maka hubungan antara laki-laki dan perempuan yang tadinya haram berubah menjadi halal. Pada saat akad pernikahan dilakukan, yang hadir meresmikan bukan hanya manusia, tetapi juga makhluk-makhluk spiritual, seperti malaikat dan jin. Intinya, yang menjadi saksi dalam sebuah pernikahan bukan hanya manusia, tetapi—seperti halnya pernikahan antara Adam dan Hawa—disaksikan oleh para malaikat yang turun dari langit dan para jin. Pernikahan merupakan sebuah upaya menuju terciptanya makhluk Tuhan yang ideal. Secara ideal, makhluk Tuhan hidup berpasang-pasangan (laki-laki dan perempuan). Tidak sempurna kehadiran manusia secara fisik bagi seseorang yang belum berpasangan (menikah). Itulah sebabnya, dalam kamus Bahasa Arab Lisânul 'Arab, disebutkan bahwa orang yang belum mempunyai suami atau istri dikategorikan sebagai yatim. Jadi, yang dimaksud yatim bukan hanya anak kecil yang ditinggal mati oleh orang tuanya (bapak atau ibu), tetapi juga bagi semua orang yang belum menikah, baik laki-laki maupun perempuan. Yang dimaksud yatim adalah al inqita 'anisysyai (orang yang membutuhkan bantuan). Dengan demikian, jika dikaitkan dalam konteks kodrat manusia yang diciptakan secara berpasangan, maka bagi orang yang belum berpasangan termasuk ke dalam kategori yatim. Oleh karena itu, siapa saja yang membantu orang untuk mendapatkan jodoh atau paling tidak mendoakan, maka hal itu bernilai pahala.
Dalam sebuah ayat disebutkan : Artinya : "Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian (lajang) di antara kamu." (QS An Nur :32)
            Dalam tujuannya, UU perkawinan berfungsi sebagai guide bagi pelaksanaan perkawinan dalam rangka menjaga nilai luhur sebuah perkawinan. Dalam Islam perkawinan bertujuan membentuk keluarga yang harmonis, sejahtera, dan berkualitas; keluarga yang berkualitas. secara spiritual dan juga material. Secara spiritual, keluarga adalah wadah yang akan memberikan nuansa kesalehan spiritual dengan menjadikan anggotanya sebagai makhluk yang taat beragama. Dan secara material keluarga memberikan kesejahteraan bagi segenap anggotanya dengan terpenuhinya kebutuhan keluarga. UU Perkawinan disusun dalam rangka menjaga semangat tersebut. Bahwa melalui UU Perkawinan itu diberikan perlindungan dari hal-hal yang dapat merusak nilai keluhurannya. Dengan kata lain, UU Perkawinan bertujuan melindungi hak dan kewajiban masing-masing anggota keluarga dari kemungkinan sebuah ketidakadilan dan hal-hal destruktif lainnya.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Sejarah Hukum keluarga Islam Di Idonesia
2. bagaimana kedudukan hokum keluarga islam di Indonesia
3. bagaiman proses pembentukan hokum islam di indonesia
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui sejarah Hukum Keluarga Islam di Indonesia
2. Untuk mengetahui komponen fiqh hokum keluarga islam di indonesia
3. Untuk mengetahui konfigurasi pembentukan hokum di indonesia








BAB II
PEMBAHASAAN
A. Sejarah Awal Perkembangan Hukum Keluarga Islam di Indonesia
            Beberapa ahli menyebut bahwa hukum Islam yang berkembang di Indonesia bercorak syafiiyyah. Ini ditunjukkan dengan bukti-bukti sejarah diantaranya, Sultan Malikul Zahir dari Samudra Pasai adalah seorang ahli agama dan hukum Islam terkenal pada pertengahan abad ke XIV M. Melalui kerajaan ini, hukum Islam mazhab Syafii disebarkan ke kerajaan-kerajaan Islam lainnya di kepulauan Nusantara. Bahkan para ahli hukum dari Kerajaan Malaka (400-500 M) sering dating ke Samudra Pasai untuk mencari kata putus tentang permasalahan-permasalahan hukum yang muncul di Malaka.
            Selanjutnya Nuruddin ar-Ramri (w.068 H/658 M) yang menulis buku hukum Islam berjudul Sirat al-Mustaqim pada tahun 628 dapat disebut tokoh Islam abad XVII M. Kitab Sirat al-Mustaqim merupakan buku Islam pertama yang disebar luaskan ke seluruh Nusantara. Kemudian pada abad XVIII M, tokoh islam dalam bidang hukum Islam adalah Syekh Irsyah al-Basyari (70-82 M). Ia menulis kitab fikih yang berjudul Sabil al-Muhtadin li Tafaqquh fi Amr al-Din, yang bercorak Syafiyyah, dijadikan pedoman untuk menyelesaikan sengketa di kesultanan Banjar.
            Memasuki abad XIX M, Tokoh yang layak diperhitungkan adalah Syaikh Nawawi al Bantani yang lahir di Banten (Serang) (83-879) Karya Fikihnya yang sangat terkenal adalah Uqud al-Lujain (Mengenai kewajiban suami-istri) yang merupakan kitab wajib bagi santri-santri di pesantren-pesantren di Indonesia sampai saat ini. Corak Syafiiyyah tidak saja terlihat dari kitab-kitab yang ditulis dan digunakan, tetapi tampak pada praktik keagamaan Umat Islam sehari-hari.
            Menarik untuk dicermati, perkembangan hukum Islam di Indonesia pada masa-masa menjelang abad XVII, XVIII dan XIX M baik pada tataran intelektual dalam bentuk pemikiran dan kitab-kitab juga dalam praktik-praktik keagamaan dapat dikatakan cukup baik. Dikatakan cukup baik karena hukum Islam di praktikkan oleh masyarakat dalam bentuk yang hampir bias dikatakan sempurna, mencakup masalah muamalah, ah wal al syakhsiyyah (perkawinan, perceraian dan warisan), peradilan, dan tentu saja dalam masalah Ibadan. Tidak itu saja, hukum Islam menjadi system hukum mandiri yang digunakan di Kerajaan-Kerajaan Islam Nusantara. Tidaklah salah jika dikatakan pada masa itu jauh sebelum Belanda menancapkan kakinya di Indonesia, hukum Islam menjadi hukum yang positif di Nusantara.
B. Al-Ahwal al-Syakhsiyah sebagai komponen Fiqh al-Islam
            Dalam dunia Ilmu Fiqh dikenal adanya bidang Al-Ahwal al-Syakhsiyah atau Hukum Keluarga, yaitu fiqh yang mengatur hubungan antara suami- isteri, anak, dan keluaganya. Pokok kajiannya melipiti: 1). Munakahat, 2). Mawaris, 3) wasiyat, 4). Wakaf. Mengenai wakaf, memang ada kemungkinan masuk ke dalam bidang ibadah apabila dilihat dari maksud orang mewakafkan hartanya (untuk kemaslahatan umum), namun dapat dikategorikan dalam bidang al-ahwal al-syakhsiyah apabila wakaf itu wakaf zuri, yakni wakaf untuk keluarga.
Munakahat/pernikahan merupakan akad yang menghalalkan pergaulan antara seorang pria dan seorang wanita serta menetapkan hak-hak dan kewajiban diantara keduanya. Pembahasan fiqh munakahat, mencakup topic-topik: peminangan, akad-nikah, wali nikah, saksi nikah, mahar, mahram, rada’ah, hadanah, hal-hal yang berkaitan dengan putusnya perkawinan, iddah, ruju’, ila’, zihar, li’an, nafkah, dll. (menurut UU.no.1/74 ttg Perkawinan, perkara yang ada dalam bidang perkawinan sejumlah 22 macam).
Mawaris/kewarisan mengandung pengertian tentang hak dan kewajiban ahli waris terhadap hata warisan, menentukan siapa saja yang berhak terhadap harta warisan, bagaimana cara pembagiannya untuk masing-masing ahli waris. Fiqh Mawaris disebut juga Fara’id, karena mengatur tentang bagian-bagian tertentu yang menjadi hak para ahli waris. Pembahasan Fiqh Mawaris mencakup masalah: tajhiz/perawatan jenazah, pembayaran hutang dan wasiyat, kemudian tentang pembagian harta warisannya. Di samping itu dibahas pula mengenai penghalang untuk mendapatkan warisan, juga dibicarakan tentang zawil arham, hak anak dalam kandungan, hak ahli waris yang hilang, hak anak hasil perzinahan, serta masalah-maslah khusus.
Wasiyat adalah pesan seseorang terhadap sebagian hartanya yang diberikan kepada orang lain atau lembaga tertentu yang pelaksanaannya ditangguhkan setelah ia meninggal dunia. Pembahasannya meliputi: orang yang berwasiyat dan syaratnya, orang yang diberi wasiyat dan syaratnya, hukum bagi penerima wasiyat yang membunuh pemberinya, tentang harta yang diwasiyatkan dan syaratnya, hubungan antara wasiyat dengan warisan, tentang lafaz dan tata cara berwasiyat, tentang penarikan wasiyat, dan  lain-lain.
Wakaf adalah penyisihan sebagian harta benda yang bersifat kekal zatnya dan mungkin diambil manfaatnya untuk maksud/tujuan kebaikan. Di dalam kitab-kitab fiqh dikenal adanya istilah wakaf zuri (keluarga) dan wakaf khairi (untuk kepentingan umum). Pembahasan mengenai wakaf meliputi: syarat- syarat bagi orang yang mewakafkan, syarat- syarat bagi barang yang diwakafkan, syarat-syarat bagi orang yang menerima wakaf, syigat/ucapan dalam pewakafan, mengenai macam dan siapa yang mengatur barang wakaf beserta hak dan kewajibannya, tentang penggunaan barang wakaf, dan lain sebagainya.

C. Konfigurasi Pembentukan Hukum Islam di Indonesia
            Pembentukan hukum di Indonesia, dalam arti pembangunan hukum nasional sesungguhnya telah berlangsung sejak tahun 1970-an dan sampai saat ini belum dilakukan evaluasi secara mendasar dan komprehensif terhadap kinerja model hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat. Selama ini ukuran keberhasilan pembangunan hukum selalu dilihat dari segi jumlah produk hukum yang telah dihasilkan oleh lembaga yang berhak mengesahkan undang-undang.
            Dari perjalanan sejarah bangsa Indonesia, dapat disimpulkan bahwa hukum yang berlaku saat ini sangat dipengaruhi oleh kekuatan politik; paling tidak dapat dilihat dalam aspek politik hukum nasional. Demikian pula halnya dengan hukum Islam di Indonesia, ia senantiasa berada dalam pengaruh kekuatan politik. Oleh karena itu, konfigurasi pembentukan hukum Islam di Indonesia selalu diiringi dengan verted interest politik. Di Indonesia, proses pembentukan hukum Islam ke dalam hukum nasional ditandai dengan masuknya beberapa aspek Islam ke dalam undang-undang, baik yang langsung menyebutkannya dengan istilah hukum Islam, maupun yang tidak menyebutkan langsung. Pembentukan hukum Islam ke dalam hukum nasional memang menimbulkan maslahah baru, artinya harus ada unifikasi hukum meskipun memiliki sisi positif dalam hal memenuhi kebutuhan hukum bagi umat Islam. Untuk itu, dibutuhkan unifikasi dan ini tidak bisa terjadi dengan sendirinya, melainkan dibutuhkan kekuatan politik. Daniel S.Lev mengemukakan bahwa hukum daam Islam dipisahkan dari kepentingan khusus masyarakat lokal dan digeneralisasikan bagi kepentingan segenap umat, dan hukum Islam adalah hukum ketuhanan yang berlaku bagi setiap muslim di manapun berada. Pembentukan hukum Islam ke dalam hukum nasional tidak perlu seluruhnya dilakukan. Ketentuan hukum Islam yang perlu dijadikan hukum nasional adalah hukum yang pelaksanaannya memerlukan bantuan kekuasan negara dan berkorelasi dengan ketertiban umum. Salah satu contohnya adalah dalam masalah kekuasaan peradilan, hukum keluarga, perbankan syari’ah, dan lain sebagainya.
1. Produk Hukum Nasional yang bersumber dari Hukum Islam bidang Keluarga
Tiga produk hukum nasional yang bersumber dari hukum Islam yakni:
1.      Undang-undang no. 1/1974 tentang Perkawinan
2.      Undang-undang no.41/2004 tentang Wakaf,
3.      Undang-undang no. 3/2006 tentang Perubahan Undang-undang no. 7/1989 tentang Peradilan Agama.
1.1. Undang-undang no. 1/1974 tentang Perkawinan
       Peranan hukum Islam dalam persoalan perkawinan bagi muslim Indonesia dengan jelas tercantum dalam pasal 2 ayat (1) yang berbunyi: perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu. Bagi orang Islam di Indonesia, sahnya perkawinan adalah apabila dilaksanakan sejalan dengan prinsip-prinsip hukum dalam Islam. Perkawinan yang merupakan perjanjian suci antara seorang pria dengan seorang wanita, menurut Islam seharusnya didasarkan atas asas:
a. Kesuka-relaan,
b. persetujuan ke dua belah pihak,
c. Kebebasan memilih,
d. Kemitraan suami dan isteri,
e. Untuk selamanya.
       Adapun tujuan dari pernikahan adalah untuk membentuk rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an, surat al-Rum: 21.
Undang-undang Perkawinan juga mengatur hal ihwal tentang perkawinan dengan norma, kaidah, dan prinsip hukum Islam seperti dalam masalah menentukan calon, khitbah, aqad nikah, nafqah, perceraian, rujuk, dan sebagainya (ada 22 masalah).

1.2. Undang-undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf
Dalam Islam, wakaf dipandang sebagai salah satu instrumen ekonomi yang sangat potesial untuk menopang kesejahteraan umat. Namun hingga saat ini peran dan fungsi wakaf belum optimal. Salah satu penyebabnya adalah belum maksimalnya peraturan perundang-undangan yang mengatur persoalan ini. Membutuhkan waktu yang cukup lama pengaturan wakaf di Indonesia yang masih berada pada level di bawah undang-undang, yakni Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Agama, Peraturan Dirjen Bimas Islam Depag RI, dan beberapa aturan lain. Kehadiran Undang-undang Nomor 41 tahun 2004 menjadi angin segar bagi umat Islam dalam hal perwakafan. Sebagai salah satu instrumen dalam pengelolaan wakaf dan sebagai manifestasi hukum Islam, terutama di Indonesia perlu memperhatikan kendala selama ini, misalnya: masih belum terformatnya peraturan teknis pengelolaan wakaf, dan masih adanya kelemahan dalam pengaturan hukumnya. Jika kendala ini dapat diatasi, maka dengan undang- undang ini terdapat peluang untuk mengimplementasikan hukum Islam tentang wakaf demi kesejahteraan masyarakat.
Undang-undang ini mengandang beberapa aspek:
a. Hukum Islam sudah menjadi bagian yang teritegrasi dan terunifikasi dalam hukum nasional.
b. Benda wakaf dalam undang-undang ini telah diperluas dari sebelumnya yang tidak hanya pada benda tidak bergerak, namun juga benda bergerak, seperti uang, saham, dan surat berharga lainnya.
c. Persyaratan nazir ditambah dengan pengelolaan harta wakaf ditinjau dari aspek penyalurannya.
d. Konsekuensi hukum bagi penyimpangan dalam pengelolaan harta benda wakaf telah diatur dalam undang –undang, bahkan dikategorikan dalam tindank pidana. Namun dalam penjelasan pasal 62 ayat (2) dinyatakan tentang pemeberlakuan upaya tahkim atau arbitrase. Jika tidak bisa diselesaikan, maka diproses melalui pengadilan atau Mahkamah Syar’iyyah.
1.3. Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan UU.N0. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
            Gelombang pasang surut institusi Peradilan Agama (Al-Qada’ fi al-Islam) di Indonesia berjalan seiring dengan pasang surut peran politik umat Islam11. Terjadi tarik menarik antara kepentingan politik penguasa dengan kepentingan umat Islam. Di satu sisi motivasi politik penguasa yang ada menciptakan legal policy yang mengedepankan nilai sekularisme, dengan dalih hukum Islam tidak relevan dengan kondisi sosial serta pertimbangan pluralisme masyarakat. Di sisi lain, umat Islam mempersepsikan bahwa hukum Islam dan lembaga Peradilan Agama adalah bagian dari kewajiban agama yang bukumnya wajib kifayah untuk dipertahankan dan dilaksanakan. Sejalan dengan kesadaran politik hukum umat Islam dan meluasnya kebutuhan umat Islam terhadap lembaga Peradilan Agama sebagai media untuk menyelesaikan perkara, serta perkembangan hukum Islam di Indonesia yang begitu cepat, masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam mendorong agar dibentuk undang-undang Peradilan agama, akhirnya terwujud pada tahun 1989, selanjutnya untuk menyesuaikan perkembangan, diadakan perubahan terhadap undang-undang ini dengan Undang-undang no. 3 tahun 2006. Kewenangan Peradilan Agama pun menjadi kian luas meliputi sejumlah bidang pekerjaan. Pertama: Perluasan kewenangan dalam memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di bidang a. Perkawinan, b. Kewarisan, c. Wasiat, d. hibah, e. Wakaf, f. Zakat, g. sadaqah, h. Infaq, dan i. Ekonimi Islam (syari’ah). Kedua: penyelesaian sengketa hak milik atau keperdataan lainnya. Ketiga: Memberikan isbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal bulan tahun hijriyah.












BAB III
KESIMPULAN

            Hukum Islam di bidang keluarga menempati posisi sangat penting dalam hukum Islam, hal ini berkaitan dengan kontribusinya yang amat signifikan di dalam upaya menciptakan kehidupan masyarakat yang tertib dan harmonis. Itulah sebabnya di banyak negara Islam atau yang mayoritas warganya beragama Islam, utamanya Indonesia, bidang hukum ini senantiasa mendapatkan apresiasi tinggi yang dimanifestasikan dalam bentuk upaya berkelanjutan untuk melegalkan /legislasi hukum Islam menjadi hukum positf ke dalam berbagai produk peraturan perundang-udangan RI, antara lain dapat disebutkan: Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-undang nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf, Undang-undang nomor 7 tahun 1989 yang dirubah dengan Undang-undang nomor 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama, dan sebagainya.






Daftar pustaka :
Cik Hasan Bisri. 1997. Peradilan Islam dalam Tantangan Masyarakat Indonesia. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Al-Mawarid Edisi XVIII Tahun 2008
Refleksi Penerapan Hukum Keluarga Di Indonesia  Prof. Dr. Nasaruddin Umar,MA Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar