Minggu, 16 September 2012

GENDER DAN FILOSOFI PEREMPUAN


GENDER DAN FILOSOFI PEREMPUAN

A.    PENGANTAR
Gender, mungkin sepenggal kata tersebut sudah tidak asing lagi ditelinga kita. Dimana kata tersebut sering kita gunakan untuk melihat perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Padahal realitas kehidupan yang menunjukan bahwa ada perbedaan peran laki-laki dan perempuan yang menunjukan terjadinya bias dalam memahami hakekat keberbedaan dua jenis kelamin tersebut. Untuk menghindari terjadinya bias tersebut, maka diperlukan sebuah wacana awal atau pengantar yang memberi sebuah pemahaman mengenai perbedaaan antara konsep gender dan konsep seks, yang pada akhirnya nanti mempunyai kaitan yang sangat erat antara perbedaan (Gender Difference) dan ketidakadilan gender (Gender Inequalities) dengan struktur ketidakadilan masyarakat secara lebih luas. Konsep menunjukan penafsiran atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis melekat pada jenis kelamin tertentu. Sedangkan konsep gender merujuk kepada penafsiran yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang  dikonstruksi  secara sosial maupun kultural. Seperti yang sduah dijelaskan bahwa konsep gender sendiri sebenarnya tidak mengacu kepada perempuan saja, tetapi pada perempuan dan laki-laki sejauh merupakan hasil konstruksi masyarakat. Semisal, perempuan dianggap lemah, lembut, cantik, emosional dan lain-lain. Sedangkan, laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, dan perkasa. Konstruksi masyarakat tersebut  melahirkan steorotype yang memberikan citra dan celah bagi laki-laki untuk melakukan diskriminasi dengan mengatasnamakan kebodohan dan dan kelemahan perempuan yang secara substansial merupakan logika penindasan atas perempuan. Perempuan dipahami hanya sekedar bagian dari laki-laki, tersingkir dari pengambilan keputusan (subordinasi) dan termarjinalisasi dari proses ekonomi yang menciptakan suatu ketidakadilan..
Munculnya gerakan perempuan merupakan suatu perlawanan sosial-budaya sekaligus perlawanan terhadap struktur sosial masyarakat yang terlanjur mapan dengan menempatkan perempuan di bawah posisi laki-laki. Gugatan atas perilaku hegemoni kaum laki-laki tersebut mengarah pada penolakan situasi negatif (diskriminasi gender)  dimana posisi permpuan: 1) tersingkir dari pengambilan keputusan, 2) terpinggir dari proses ekonomi, 3) mengalami pelecehan dan tindakan kekerasan, 4) menanggung beban berlebihan, dan 5) mengalami cap-cap sosial yang memungkinkan berlanjutnya situasi ketidakadilan gender. Namun wacana di atas mengalami benturan dengan adanya pemahaman yang bias tentang analisis gender. Kesan yang muncul bahwa kesadaran relasi gender tersebut merupakan suatu gugatan perempuan terhadap laki-laki ke dalam subordinat permpuan. Kesan keliru tersebut menyebabkan sosialisasi kesadaran gender dalam wujud kesetaraan, kemitraan, dan perilaku dialogis antar perempuan dan laki-laki menjadi terhambat. Sehingga diperlukan suatu dobrakan terhadap sistem sosial yang secara struktur fungsional telah memberikan ketidakadilan terhadap perempuan.
B.     GERAKAN FEMINISME
Pada dasarnya feminisme merupakan implementasi dari kesadaran untuk menciptakan keadilan gender dalam kerangka demokratisasi dan HAM. Gerakan tersebut diperkirakan muncul seiring dengan ideologi aufklarung (enlightment) yang muncul di Eropa pada abad 15-18. Gagasan yang dominan pada waktu itu adalah paham rasionalisme yang ditandai dengan pemujaan akal, pikiran  dan rasio. Ide rasionalis mempengaruhi revolusi Prancis (1789-1793) dengan menggunakan slogan kebebasan dari penindasan (liberte), pengakuan terhadap persamaan hak (egalite) dan semangat persudaraan (fraternite) sebagai semboyan untuk meruntuhkan rezim kerajaan yang otoriter yang digantikan dengan kekuasaan republik yang menggunakan sistem demokrasi.  Namun perempuan tidak serta merta bisa menikmati hasil dari perjuangan tersebut. Karena setelah revolusi Prancis, peratura-peraturan yang merugikan perempuan tetap berlaku dan disahkan kembali. Dari sejarah gerakan perempuan di Prancis menunjukkan bahwa perempuan tidak bisa serta merta mendapatkan hak yang sama dengan laki-laki meskipun terlah muncul gagasan, liberte, egalite, dan fratenite sebagai nilai-nilai universal kemanusiaan. Hegemoni ptriarki dan kuatnya sistem sosial budaya yang mengakar menghambat geliat perempuan dalam menuntut keadilan.
1.      Feminis Liberal
Dasar dari pemikiran kelompok ini adalah bahwa semua manusia laki-laki dan perempuan diciptakan seimbang dan serasi dan seharusnya tidak ada penindasan antara satu dari yang lainnya. Pandangan ini berakar dari prinsip freedom dan egalite yang berakar dari rasionalitas. Prinsip liberalis adalah adanya  kesempatan yang sama dan hak yang sama. Hak laki-laki secara otonomis menjadi hak perempuan, tetapi bukan berarti terdapat persamaa secara menyeluruh diantara keduanya. Dalam beberapa hal, terutama fungsi reproduksi yang menyebabkan perbedaan fungsi dalam masyarakat. Akan tetapi organ reproduksi bukan penghalang perempuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Oleh karena itu strategi pemberdayaan perempuan adalah cukup dengan mengintegrasikan perempuan dalam proses pembangunan, tanpa harus mengubah struktur secara menyeluruh. Dan dalam pemberdayaan permpuan, laki-laki bisa dijadikan sebagai partner.
2.      Feminis Radikal
Menurut mereka penindasan kaum perempuan oleh laki-laki berakar dari kondisi biologis yaitu jenis kelamin laki-laki berserta ideologi patriarkhi, termasuk di dalamnya penguasaan fissik dan hubungan seksual dan hubungan keluarga, sehingga revolusi dan perlawanan terhadap penindasan perempuan bisa dalam bentuk yang sangat personal. Golongan ini mengambil bentuk model perjuangan maskulinitas yaitu persaingan untuk mengatasi laki-laki untuk memberi ruang politik bagi perempuan, mereka memiliki semboyan; personal is political. Untuk itu ketimpangan tersebut hanya bisa dihilangkan dengan penyadaran kaum perempuan.
3.       Feminis Marxis
Penindasan perempuan merupakan bagian dari penindasa kelas, persoalan perempuan dalam kerangka kritik terhadap kapitalisme. Munculnya private poperty yang menjadi dasar perdagangan dan produksi dimana laki-laki yang emmiliki kekuasaan untuk mengontrol proses tersebut, sehingga mereka mendominasi hubungan sosial, politik, dan juga permpuan. Pada zaman kapitalisme penindasan perempuan dilanggengkan karena dianggap menguntungkan. Seperti dengan pelanggengan peran domestik dengan eksploitasi pulang ke rumah agar buruh laki-laki lebih produktif dalam bekerja. Atau jika perempuan berperan diluar urusan domestik menjadi buruh misalna, mereka adalah cadangan buruh yang lebih murah dari laki-laki yang jumlahnya tidak terbatas. Penindasan perempuan merupakan kelanjutan dari sistem eksploitatif yang bersifat struktural. Sehingga mereka menganggap musuh perempuan sebenarnya bukanlah laki-laki atau budaya patriarkhi melainkan sistem kapitalis. Penyelesaian harus bersifat struktural dengan melakukan perubahan struktur kelas dan pemutusan hubungan dengan sistem kapitalisme internasional yang disebut proses evolusi. Setelah evolusi perempuan masih akan menghadapi permasalahan peran domestik. Maka sebagai solusi perempuan harus terlibat dalam proses produksi dan berhenti mengurus rumah tangga .
4.      Feminisme sosialis
Merupakan sintesis antara metode historis materialis Marx dan Engel dengan gagasan personal is political dari feminis radikal. Ketidakadilan bukan akibat dari perbedaan biologis laki-laki dan perempuan, juga bukan karena produksi dan reproduksi dalam masyarakat tetapi lebih karena manifestasi ketidakadilan gender yang merupakan konstruksi sosial terhadap perbedaan itu. Penindasan perempuan tidak semata-mata karena eksploitasi ekonomi., tapi analisis patriarkis juga penting untuk digabungkan dengan analisis kelas. Kritik terhadap eksploitasi kelas dari sistem kapitalisme harus dilakukan bersama-sama dengan kritik keadilan gender yang mengakibatkan dominasi, subordinasi dan marginalisasi perempuan. Partisipasi perempuan dalam ekonomi tidak selalu akan menaikkan status perempuan, tapi keterlibatan perempuan biasanya hanya pada posisi budak (pekerja) dan justru dianggap menjerumuskan perempuan.
Berdasarkan sebuah pemahaman diatas, maka dapatlah ditarik kesimpulan bahwa wacana analisis gender merupakan sebuah kesadaran perlawanan terhadap sistem sosial budaya dan struktur sosial masyarakat yang melembaga. Sehingga suatu perlawanan mutlak diperlukan guna memberi pemaknaan yang tepat tentang relasi gender dari setiap pemahaman yang ada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar