rima rahmawati
Rabu, 19 September 2012
Minggu, 16 September 2012
MAKALAH HKI FILIPIN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Filipina
merupakan suatu negara yang penduduknya mayoritas beragama Katolik. Penduduk
muslim mayoritas terdapat di tiga belas provinsi, tetapi pemerintah hanya
mengakui hanya beberapa bagian yaitu: Tawi-tawi, Sulu, Basilan, Manguindanao
dan Lanao Sur. Muslim hanya membentuk lebih dari sepersepuluh penduduk tetapi
kurang dari 50% di Zambuanga del Sur, Kotabato Utara dan Sultan Koarat. Muslim
terdiri dari beberapa kelompok etnis yang terpenting adalah Tausug (Basilan, Sulu,
Tawi-Tawi) dan Manguindanao ( Lanao del Sur). Wilayah terluas di Filipina
adalah Mindanao (bagian Selatan Filipina) dan Luzon (bagian Utara Filipina)
Dalam makalah ini, penulis akan mencoba membahas beberapa
hal penting tentang Islam di Filipina. Antara lain: Sejarah masuknya Islam di
Filipina, faktor-faktor Islam menjadi agama minoritas
di Filipina, hukum Islam di Filipina.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Sejarah masuknya Islam di Filipina?
2. Apa saja faktor-faktor Islam
menjadi agama minoritas di Filipina?
3. Bagaimana hukum Islam di Filipina?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Sejarah masuknya Islam di Filipina.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor Islam
menjadi agama minoritas di Filipina.
3. Untuk mengetahui hukum Islam di Filipina
BAB II
PEMBAHASAN
1. Sejarah Masuknya Islam Di Filipina
Sejarah masuknya Islam masuk ke wilayah Filipina Selatan,
khususnya kepulauan Sulu dan Mindanao pada tahun 1380 M. dibawa oleh Seorang
tabib dan ulama Arab bernama Karimul Makhdum dan Raja Baguinda tercatat sebagai
orang pertama yang menyebarkan ajaran Islam di kepulauan tersebut. Menurut
catatan sejarah, Raja Baguinda adalah seorang pangeran dari Minangkabau
(Sumatra Barat). Ia tiba di kepulauan Sulu sepuluh tahun setelah berhasil
mendakwahkan Islam di kepulauan Zamboanga dan Basilan. Atas hasil kerja
kerasnya juga, akhirnya Kabungsuwan Manguindanao, raja terkenal dari
Manguindanao memeluk Islam. Dari sinilah awal peradaban Islam di wilayah ini
mulai dirintis. Adapula pendapat yang lain mengenai masuknya Islam datang
kekepulaun Sulu. Bahwasannya Islam datang ke Sulu pada abad ke-9 melalui
perdagangan. Tapi itu tidak menjadi faktor yang penting dalam sejarah Sulu,
sampai abad ke 13 ketika orang-orang menyebarkan Islam (da’i) mulai pertama
kali tinggal di Buasna (Jolo) kemudian di daerah-daerah lain kepulauan Sulu.
Filipina sendiri waktu itu belum berbentuk negara menjadi
Republik Filipina. Ia hanya sebentuk kepulauan rumpun melayu yang dijadikan
tempat berniaga para pedagang muslim dan persinggahan para ulama dari Gujarat,
India, dan Timur Tengah. Untuk pertama kalinya, mereka menempati Kepulauan
Sulu. Namun, setelah itu, petualang muslim Melayu menyusul dan mendirikan
kesultanan di bagian Filipina, yakni Sulu, Palawan dan Mindanao. Diantara
mereka adalah para da'i dari pulau Kalimantan yang kebetulan berdekatan dengan
Sulu. Maka berkembanglah dengan pesatnya kehidupan muslim di tiga daerah ini.
Pengaruhnya bukan hanya pada perkembangan agama, tapi juga secara
sosial-kultural di masyarakatnya. Menurut data Peter Gowing dalam Muslim
Filipinos-Heritage and Horizon, muslim Filipina dibagi ke dalam 12 kelompok
etno-linguistik (suku-bangsa). Enam yang paling utama adalah Maguindanao,
Maranou, Iranum, Tausug, Samal dan Yakan. Preang sisanya yaitu Jama Mapun,
Kelompok Palawan (Palawani dan Molbog), Kalagan, Kolibugan dan Sangil. Kendati
suku-bahasa itu sangat beragam, bahasa kelompok muslim sendiri memiliki
kesamaan. Misalnya, bahasa Manguindanao dan Maranao dapat diucapkan dan
dimengerti oleh kedua kelompok ini. Tetapi ada pula beberapa dialek yang
dipakai baik oleh orang Islam maupun orang Kristen, yakni bahasa Samal, Jama
Mapun, dan Badjao. Sementara bahasa Tagalog dan Visayan banyak digunakan oleh
orang-orang Kristen.
Spanyol merupakan salah satu negara yang pernah menjajah
Filipina. Bangsa Spanyol melakukan inkuisi secara buruk terhadap muslim
(Morisco) disemenanjung Iberia. Mereka menyerang muslim Sulu, Mangindanao dan
Maniland dengan fanatisme dan keganasan yang sama seperti mereka memperlakukan
penduduk muslim mereka sendiri di Spanyol. Raja Philip, yang namanya kemudian
di jadikan nama-nama pulau itu, memerintahkan kepala Staf Angkatan Lautnya
sebagai berikut: “ taklukkan pulau-pulau itu dan gantikan agamanya (ke agama
Katolik).” Menghadapi latar belakang itu orang muslim di negara yang disebut
Filipina ( di sebut Moro nama yang diberikan oleh bangsa Spanyol kepada muslim
Filipina). Korban pertama dari serangan kolonial ini adalah negara muslim
Manilad. Namun perlawanan muslim mengorganisasi diri di selatan di pulau-pulau
Palawa, Sulu dan Mindanao. Pulau ini menjadi bagian dari persatuan negara
muslim merdeka Sulu. Spanyol tidak pernah dapat menaklukkan negara ini walaupun
dalam keadaan perang terus-menerus dan harus mengakui keberadaan merdekanya.
Amerika serikat pada tahun 1896 yang dipimpin presiden MC
Kinely dan berhasil menaklukkan jajahan spanyol tersebut tahun 1899, tetapi
muslim Sulu melawan. Dan pada akhirnya Sulu jatuh ketangan Amerika pada 1914,
kejadian tersebut pertama kalinya dialami Sulu dan jatuh ke tentara non muslim.
Pada 11 maret 1915 raja (sultan) muslim dipaksa turun tahta. 1940 Amerika
menghapuskan kesultanan Sulu dan menggabungkan bangsa Moro kedalam Filipina. Setelah
kemerdekaan Filipina 4 juli 1946, masyarakat Moro tetap melanjutkan perjuangan
bagi kemerdekaan Moro. Pemerintah Filipina yang baru melanjutkan kebijakan masa
kolonial, yakni melakukan tindakan represif kepada gerakan separatis Moro.
Pemindahan masyarakat Katolik Filipina kewilayah Mindanao yang mayoritas
beragama Islam terus dilakukan.
2. Faktor -faktor Islam menjadi agama minoritas di Filipina
Mayoritas penduduk Filipina beragama Katolik, walaupun
katolik menjadi agama mayoritas, tetapi di Filipina terdapat tiga ribu masjid,
terutama di selatan. Penduduk Filipina sekitar 85.236.900 juta pada tahun 2006
dan setiap tahunnya pertumbuhan penduduknya 1,92% dengan luas wilayah 300.076
km terdiri dari 7.107 pulau. Penduduknya terdiri dari beberapa suku yaitu suku
Filipino 80%, Tionghoa 10%, Indo Arya 5%, Eropa dan Amerika 2%, Arab 1%, suku
lain 2%. Kota Marawi dan Jolo dapat dianggap sebagai pusat keagamaan bagi
komunitas muslim. Kitab suci Al-Qur’an telah diterjemahkan oleh dr.Ahmad
Domacao Alonto kedalaam bahasa Maranao, bahasa yang paling utama dikalangan
muslim kebanyakan muslim di Moro adalah petani dan nelayan. Dijabatan tinggi
pemerintah Filipina tidak berarti. Asosiasi islam yang paaling aktif adalah
Asosiasi Muslim Filipina (Manila), Ansar al-Islam (Kota Marawi), Masyarakat
Islam Mualaf (Manila) dan yayasan Islam Sulu (jolo) dan sebagainya. Tahun 1983,
Dewan Dakwah Islam Filipina telah dibentuk untuk mempersatukan
organisasi-organisasi Muslim di utara dan selatan.
Menurut Majul, ada tiga alasan yang menjadi penyebab
sulitnya bangsa Moro berintegerasi secara penuh kepada republik Filipina. Pertama, bangsa Moro sulit menghargai
undang-undang Nasional, khususnya yang mengenai hubungan pribadi daan keluarga,
karena undang-undang tersebut berasal dari Barat dan Katolik, seperti larangan
bercerai dan poligami yang sangat bertentangan dengan hukum Islam yang
membolehkannya. Kedua, sistem sekolah
yang menetapkan kurikulum yang sama, bagi setiap anak Filipina disemua daerah,
tanpa membedakan perbedaan agama dan kultur, membuat bangsa Moro malas untuk
belajar disekolah yang didirikan pemerintah. Mereka menghendaki dalam kurikulum
itu adanya perbedaan khusus bagi bangsa Moro, karena adanya perbedaan agama dan
kultur. Ketiga, bangsa Moro masih
trauma dan kebencian yang mendalam terhadap program perpindahan penduduk yang
dilakukan oleh pemerintah Filipina kewilayah mereka di Mindanao, karena program
ini telah mengubah posisi mereka dari mayoritas menjadi minoritas hamper
disegala bidang kehidupan.
3. Hukum Islam Di Filipina
Bangsa Moro adalah tanah muslim yang penduduknya mengikuti
madzhab Syafi’I, Selama periode pra-Islam tidak memiliki hukum tertulis dan
dipimpin oleh datus (kepala suku) dengan hak atas tanah leluhur. Menjelang
akhir abad ke-13, pulau Sulu pemukim Muslim terlindung dari Arab, Kalimantan,
Sumatera, dan Malaya yang bekerja sebagai pedagang dan misionaris, beberapa di
antaranya perempuan lokal menikah, berbagi keyakinan agama mereka, dan menjalin
aliansi politik. Islam kemudian disebarkan di Filipina selatan. pra-kolonial
melalui sarana ekonomi dan relasional sebagai pengganti penaklukan, yang
mengakibatkan integrasi hukum adat baru dan yang sudah ada. Ketika datus masuk
Islam, kesultanan didirikan di Magindanao dan Sulu. Ini, menurut Justin
Holbrook (2009): "berfungsi seperti" mini-negara ", dengan
pemerintah memiliki kekuatan baik dan peradilan administrasi Agama pengadilan
Moro diterapkan hukum adat, atau adat, serta hukum syariah " ini
didefinisikan sifat komprehensif dari sistem hukum Islam (juga disebut sebagai
Agama Sara System) yang mencakup, sosio-politik, dan hubungan-hubungan hukum
sipil. Holbrook catatan lebih lanjut bahwa Muslim awal dilaksanakan
"pluralisme hukum untuk menjalin hubungan dengan orang-orang dari
keyakinan yang berbeda ...", menunjukkan bahwa mereka tinggal di
ko-eksistensi damai dengan dan tidak memaksakan iman mereka terhadap
non-Muslim.
Pada masa itu, sudah dikenal sistem pemerintahan dan
peraturan hukum yaitu Manguindanao Code
of Law atau Luwaran yang didasarkan atas Minhaj dan Fathu-i-Qareeb,
Taqreebu-i-Intifa dan Mir-atu-Thullab. Manguindanao kemudian menjadi seorang
Datuk yang berkuasa di propinsi Davao di bagian tenggara pulau Mindanao.
Setelah itu, Islam disebarkan ke pulau Lanao dan bagian utara Zamboanga serta
daerah pantai lainnya. Sepanjang garis pantai kepulauan Filipina semuanya
berada dibawah kekuasaan pemimpin-pemimpin Islam yang bergelar Datuk atau Raja.
Istilah luwaran, yang dipakaai oleh orang Moro Mindanao dalam kitab hokum,
berarti “pilihan” atau “terpilih”. Undang-undang yang terkandung didalam kitab
Luwaran merupakan pilihan dari hokum Arab lama yang kemudian diterjemaahkan dan
dikompilasikan untuk digunakan sebagai pegangan serta informasi bagi para datu, hakim di Mindanao yang tidak
mengerti bahasa Arab. Kitab luwaran dari Mindanao tidak ada tanggalnya sama
sekali, tak ada seorangpun yang mengetahui kapan kitab ini di buat. Sebagian
orang berpendapat bahwa kitab Mindanao ini disusun beberapa waktu yang lalu
oleh para hakim Mindanaao. Kitab utama yang dirujuk oleh kitab luwaran adalah
Minhaj Al TThalibin karya Zakaria yahya bin syaraf Al Nawawi ( madzhab Syafi’I).
BAB III
KESIMPULAN
Filipina merupakan salah satu Negara yang terdapat di Asia
Tenggara yang mayoritas penduduknya beragama Katolik. Islam menjadi agama
minoritas. Meskipun Islam menjadi minoritas, terdapat wilayah yang yang
menjadikan Islam sebagai agama mayoritas yaitu di Filipina bagian Selatan.
Perlu perjuangan untuk menjadikan Islam sebagai agama mayoritas disana. Banyak
Negara yang menjajah negera itu seperti Spanyol dan Amerika, selain menajah
mereka juga sebagai misionaris yang mempersulit untuk berkembangnya agama
Islam. Dengan perjuangan dan persatuan yang tinggi membuat Negara Filipina
wilayah selatan penduduknya merdeka dari penjajah dan misionaris.
Daftar Pustaka
Ahm Asy’ari, Akhwan Mukarrom dkk, Pengantar Studi Islam, Surabaya: IAIN
Sunan Ampel Press, 2008
Cintailmoe.wordpress.com
Kettani
M Ali, Minoritas Muslim di dewasa ini,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005
Muzani
Saiful, Pembangunan dan Kebangkitan Islam
di Asia Tenggara, Jakarta: LP3ES, 1993
secretofhealthylivings.hakkinda.com
Tebba Sudirman, Perkembangan Mutakhir Hukum Islam di Asia Tenggara: Studi Kasus Hukum
Keluarga dan Pengkodifikasinya, Bandung: Mizan,1993
www.Hungarian-Translator
MAKALAH HUKUM KELUARGA DI INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dalam hukum Indonesia perkawinan
mendapatkan perhatian tersendiri. Secara substantif, hukum perkawinan Indonesia
merupakan penjabaran hokum perkawinan dalam Islam. Sebagai negara dengan
penduduk muslim terbesar di dunia, wajar jika bangsa Indonesia menjadikan Islam
sebagai rujukan perundang-undangan, termasuk dalam perkawinan. Pernikahan di
dalam Islam merupakan sebuah peristiwa sakral, sekaligus juga peristiwa profan.
Sakral mengandung makna bahwa pernikahan diyakini membawa keramat, suci, dan
bermakna ibadah. Hal ini terutama karena melalui pernikahan terdapat peristiwa
pendeklarasian sesuatu yang tadinya haram menjadi halal atas nama Allah swt.
Laki-laki dan perempuan sebelum menikah haram hukumnya bersentuhan, apalagi
berhubungan badan, akan tetapi, dengan adanya pernikahan yang dilakukan hanya
dengan mengucapkan akad, sesuatu yang haram berubah menjadi halal, bahkan
bernilai ibadah di sisi Allah swt. Banyak orang yang menghalalkan sesuatu yang
sebetulnya haram hukumnya dilakukan, misalnya orang yang melakukan zina. Akan
tetapi, melalui akad yang dilakukan di depan penghulu, orang tua, wali, saksi,
dan dilengkapi dengan pelbagai persyaratan, maka hubungan antara laki-laki dan
perempuan yang tadinya haram berubah menjadi halal. Pada saat akad pernikahan
dilakukan, yang hadir meresmikan bukan hanya manusia, tetapi juga
makhluk-makhluk spiritual, seperti malaikat dan jin. Intinya, yang menjadi
saksi dalam sebuah pernikahan bukan hanya manusia, tetapi—seperti halnya pernikahan
antara Adam dan Hawa—disaksikan oleh para malaikat yang turun dari langit dan
para jin. Pernikahan merupakan sebuah upaya menuju terciptanya makhluk Tuhan
yang ideal. Secara ideal, makhluk Tuhan hidup berpasang-pasangan (laki-laki dan
perempuan). Tidak sempurna kehadiran manusia secara fisik bagi seseorang yang
belum berpasangan (menikah). Itulah sebabnya, dalam kamus Bahasa Arab Lisânul
'Arab, disebutkan bahwa orang yang belum mempunyai suami atau istri
dikategorikan sebagai yatim. Jadi, yang dimaksud yatim bukan hanya anak kecil
yang ditinggal mati oleh orang tuanya (bapak atau ibu), tetapi juga bagi semua
orang yang belum menikah, baik laki-laki maupun perempuan. Yang dimaksud yatim
adalah al inqita 'anisysyai (orang yang membutuhkan bantuan). Dengan demikian,
jika dikaitkan dalam konteks kodrat manusia yang diciptakan secara berpasangan,
maka bagi orang yang belum berpasangan termasuk ke dalam kategori yatim. Oleh
karena itu, siapa saja yang membantu orang untuk mendapatkan jodoh atau paling
tidak mendoakan, maka hal itu bernilai pahala.
Dalam sebuah
ayat disebutkan : Artinya : "Dan
kawinkanlah orang-orang yang sendirian (lajang) di antara kamu." (QS An
Nur :32)
Dalam tujuannya, UU perkawinan
berfungsi sebagai guide bagi pelaksanaan perkawinan dalam rangka menjaga nilai luhur sebuah perkawinan. Dalam Islam
perkawinan bertujuan membentuk
keluarga yang harmonis, sejahtera, dan berkualitas; keluarga yang berkualitas. secara spiritual dan juga material.
Secara spiritual, keluarga adalah wadah yang akan memberikan nuansa kesalehan spiritual dengan menjadikan anggotanya
sebagai makhluk yang taat beragama.
Dan secara material keluarga memberikan kesejahteraan bagi segenap anggotanya dengan terpenuhinya
kebutuhan keluarga. UU Perkawinan
disusun dalam rangka menjaga semangat tersebut. Bahwa melalui UU Perkawinan itu diberikan perlindungan
dari hal-hal yang dapat merusak nilai keluhurannya.
Dengan kata lain, UU Perkawinan bertujuan melindungi hak dan kewajiban masing-masing anggota keluarga dari
kemungkinan sebuah ketidakadilan dan hal-hal
destruktif lainnya.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana
Sejarah Hukum keluarga Islam Di Idonesia
2. bagaimana
kedudukan hokum keluarga islam di Indonesia
3. bagaiman proses pembentukan hokum
islam di indonesia
C. Tujuan
1. Untuk
mengetahui sejarah Hukum Keluarga Islam di Indonesia
2. Untuk
mengetahui komponen fiqh hokum keluarga islam di indonesia
3. Untuk
mengetahui konfigurasi pembentukan hokum di indonesia
BAB II
PEMBAHASAAN
A.
Sejarah Awal Perkembangan Hukum Keluarga Islam di Indonesia
Beberapa
ahli menyebut bahwa hukum Islam yang berkembang di Indonesia bercorak
syafiiyyah. Ini ditunjukkan dengan bukti-bukti sejarah diantaranya, Sultan
Malikul Zahir dari Samudra Pasai adalah seorang ahli agama dan hukum Islam
terkenal pada pertengahan abad ke XIV M. Melalui kerajaan ini, hukum Islam
mazhab Syafii disebarkan ke kerajaan-kerajaan Islam lainnya di kepulauan
Nusantara. Bahkan para ahli hukum dari Kerajaan Malaka (400-500 M) sering
dating ke Samudra Pasai untuk mencari kata putus tentang
permasalahan-permasalahan hukum yang muncul di Malaka.
Selanjutnya
Nuruddin ar-Ramri (w.068 H/658 M) yang menulis buku hukum Islam berjudul Sirat
al-Mustaqim pada tahun 628 dapat disebut tokoh Islam abad XVII M. Kitab Sirat
al-Mustaqim merupakan buku Islam pertama yang disebar luaskan ke seluruh
Nusantara. Kemudian pada abad XVIII M, tokoh islam dalam bidang hukum Islam
adalah Syekh Irsyah al-Basyari (70-82 M). Ia menulis kitab fikih yang berjudul Sabil
al-Muhtadin li Tafaqquh fi Amr al-Din, yang bercorak Syafiyyah, dijadikan
pedoman untuk menyelesaikan sengketa di kesultanan Banjar.
Memasuki
abad XIX M, Tokoh yang layak diperhitungkan adalah Syaikh Nawawi al Bantani
yang lahir di Banten (Serang) (83-879) Karya Fikihnya yang sangat terkenal adalah
Uqud al-Lujain (Mengenai kewajiban suami-istri) yang merupakan kitab
wajib bagi santri-santri di pesantren-pesantren di Indonesia sampai saat ini.
Corak Syafiiyyah tidak saja terlihat dari kitab-kitab yang ditulis dan
digunakan, tetapi tampak pada praktik keagamaan Umat Islam sehari-hari.
Menarik
untuk dicermati, perkembangan hukum Islam di Indonesia pada masa-masa menjelang
abad XVII, XVIII dan XIX M baik pada tataran intelektual dalam bentuk pemikiran
dan kitab-kitab juga dalam praktik-praktik keagamaan dapat dikatakan cukup
baik. Dikatakan cukup baik karena hukum Islam di praktikkan oleh masyarakat
dalam bentuk yang hampir bias dikatakan sempurna, mencakup masalah muamalah, ah
wal al syakhsiyyah (perkawinan, perceraian dan warisan), peradilan, dan
tentu saja dalam masalah Ibadan. Tidak itu saja, hukum Islam menjadi system
hukum mandiri yang digunakan di Kerajaan-Kerajaan Islam Nusantara. Tidaklah
salah jika dikatakan pada masa itu jauh sebelum Belanda menancapkan kakinya di
Indonesia, hukum Islam menjadi hukum yang positif di Nusantara.
B. Al-Ahwal al-Syakhsiyah sebagai komponen Fiqh al-Islam
Dalam dunia Ilmu Fiqh dikenal adanya bidang Al-Ahwal al-Syakhsiyah
atau Hukum Keluarga, yaitu fiqh yang mengatur hubungan antara suami- isteri, anak,
dan keluaganya. Pokok kajiannya melipiti: 1). Munakahat, 2). Mawaris, 3)
wasiyat, 4). Wakaf. Mengenai wakaf, memang ada kemungkinan masuk ke dalam
bidang ibadah apabila dilihat dari maksud orang mewakafkan hartanya (untuk
kemaslahatan umum), namun dapat dikategorikan dalam bidang al-ahwal
al-syakhsiyah apabila wakaf itu wakaf zuri, yakni wakaf untuk keluarga.
Munakahat/pernikahan
merupakan akad yang menghalalkan pergaulan antara seorang pria dan seorang
wanita serta menetapkan hak-hak dan kewajiban diantara keduanya. Pembahasan
fiqh munakahat, mencakup topic-topik: peminangan, akad-nikah, wali nikah, saksi
nikah, mahar, mahram, rada’ah, hadanah, hal-hal yang berkaitan dengan putusnya
perkawinan, iddah, ruju’, ila’, zihar, li’an, nafkah, dll. (menurut UU.no.1/74
ttg Perkawinan, perkara yang ada dalam bidang perkawinan sejumlah 22 macam).
Mawaris/kewarisan
mengandung pengertian tentang hak dan kewajiban ahli waris terhadap hata
warisan, menentukan siapa saja yang berhak terhadap harta warisan, bagaimana
cara pembagiannya untuk masing-masing ahli waris. Fiqh Mawaris disebut juga
Fara’id, karena mengatur tentang bagian-bagian tertentu yang menjadi hak para
ahli waris. Pembahasan Fiqh Mawaris mencakup masalah: tajhiz/perawatan jenazah,
pembayaran hutang dan wasiyat, kemudian tentang pembagian harta warisannya. Di
samping itu dibahas pula mengenai penghalang untuk mendapatkan warisan, juga
dibicarakan tentang zawil arham, hak anak dalam kandungan, hak ahli waris yang
hilang, hak anak hasil perzinahan, serta masalah-maslah khusus.
Wasiyat adalah pesan
seseorang terhadap sebagian hartanya yang diberikan kepada orang lain atau
lembaga tertentu yang pelaksanaannya ditangguhkan setelah ia meninggal dunia.
Pembahasannya meliputi: orang yang berwasiyat dan syaratnya, orang yang diberi
wasiyat dan syaratnya, hukum bagi penerima wasiyat yang membunuh pemberinya,
tentang harta yang diwasiyatkan dan syaratnya, hubungan antara wasiyat dengan
warisan, tentang lafaz dan tata cara berwasiyat, tentang penarikan wasiyat, dan lain-lain.
Wakaf adalah
penyisihan sebagian harta benda yang bersifat kekal zatnya dan mungkin diambil
manfaatnya untuk maksud/tujuan kebaikan. Di dalam kitab-kitab fiqh dikenal
adanya istilah wakaf zuri (keluarga) dan wakaf khairi (untuk kepentingan umum).
Pembahasan mengenai wakaf meliputi: syarat- syarat bagi orang yang mewakafkan,
syarat- syarat bagi barang yang diwakafkan, syarat-syarat bagi orang yang
menerima wakaf, syigat/ucapan dalam pewakafan, mengenai macam dan siapa yang
mengatur barang wakaf beserta hak dan kewajibannya, tentang penggunaan barang
wakaf, dan lain sebagainya.
C. Konfigurasi Pembentukan Hukum Islam
di Indonesia
Pembentukan
hukum di Indonesia, dalam arti pembangunan hukum nasional sesungguhnya telah
berlangsung sejak tahun 1970-an dan sampai saat ini belum dilakukan evaluasi
secara mendasar dan komprehensif terhadap kinerja model hukum sebagai sarana
pembaharuan masyarakat. Selama ini ukuran keberhasilan pembangunan hukum selalu
dilihat dari segi jumlah produk hukum yang telah dihasilkan oleh lembaga yang
berhak mengesahkan undang-undang.
Dari
perjalanan sejarah bangsa Indonesia, dapat disimpulkan bahwa hukum yang berlaku
saat ini sangat dipengaruhi oleh kekuatan politik; paling tidak dapat dilihat
dalam aspek politik hukum nasional. Demikian pula halnya dengan hukum Islam di
Indonesia, ia senantiasa berada dalam pengaruh kekuatan politik. Oleh karena
itu, konfigurasi pembentukan hukum Islam di Indonesia selalu diiringi dengan
verted interest politik. Di Indonesia, proses pembentukan hukum Islam ke dalam
hukum nasional ditandai dengan masuknya beberapa aspek Islam ke dalam
undang-undang, baik yang langsung menyebutkannya dengan istilah hukum Islam,
maupun yang tidak menyebutkan langsung. Pembentukan hukum Islam ke dalam hukum
nasional memang menimbulkan maslahah baru, artinya harus ada unifikasi hukum
meskipun memiliki sisi positif dalam hal memenuhi kebutuhan hukum bagi umat
Islam. Untuk itu, dibutuhkan unifikasi dan ini tidak bisa terjadi dengan
sendirinya, melainkan dibutuhkan kekuatan politik. Daniel S.Lev mengemukakan
bahwa hukum daam Islam dipisahkan dari kepentingan khusus masyarakat lokal dan
digeneralisasikan bagi kepentingan segenap umat, dan hukum Islam adalah hukum
ketuhanan yang berlaku bagi setiap muslim di manapun berada. Pembentukan
hukum Islam ke dalam hukum nasional tidak perlu seluruhnya dilakukan. Ketentuan
hukum Islam yang perlu dijadikan hukum nasional adalah hukum yang
pelaksanaannya memerlukan bantuan kekuasan negara dan berkorelasi dengan
ketertiban umum. Salah satu contohnya adalah dalam masalah kekuasaan peradilan,
hukum keluarga, perbankan syari’ah, dan lain sebagainya.
1. Produk Hukum Nasional yang bersumber
dari Hukum Islam bidang Keluarga
Tiga produk hukum nasional yang bersumber
dari hukum Islam yakni:
1.
Undang-undang no. 1/1974 tentang
Perkawinan
2.
Undang-undang no.41/2004 tentang Wakaf,
3.
Undang-undang no. 3/2006 tentang
Perubahan Undang-undang no. 7/1989 tentang Peradilan Agama.
1.1. Undang-undang
no. 1/1974 tentang Perkawinan
Peranan
hukum Islam dalam persoalan perkawinan bagi muslim Indonesia dengan jelas
tercantum dalam pasal 2 ayat (1) yang berbunyi: perkawinan adalah sah apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu. Bagi
orang Islam di Indonesia, sahnya perkawinan adalah apabila dilaksanakan sejalan
dengan prinsip-prinsip hukum dalam Islam. Perkawinan yang merupakan perjanjian
suci antara seorang pria dengan seorang wanita, menurut Islam seharusnya
didasarkan atas asas:
a. Kesuka-relaan,
b. persetujuan ke dua belah pihak,
c. Kebebasan memilih,
d. Kemitraan suami dan isteri,
e. Untuk selamanya.
Adapun
tujuan dari pernikahan adalah untuk membentuk rumah tangga yang sakinah,
mawaddah, dan rahmah, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an, surat al-Rum: 21.
Undang-undang
Perkawinan juga mengatur hal ihwal tentang perkawinan dengan norma, kaidah, dan
prinsip hukum Islam seperti dalam masalah menentukan calon, khitbah, aqad
nikah, nafqah, perceraian, rujuk, dan sebagainya (ada 22 masalah).
1.2. Undang-undang
No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf
Dalam Islam, wakaf
dipandang sebagai salah satu instrumen ekonomi yang sangat potesial untuk
menopang kesejahteraan umat. Namun hingga saat ini peran dan fungsi wakaf belum
optimal. Salah satu penyebabnya adalah belum maksimalnya peraturan
perundang-undangan yang mengatur persoalan ini. Membutuhkan waktu yang cukup
lama pengaturan wakaf di Indonesia yang masih berada pada level di bawah
undang-undang, yakni Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Agama, Peraturan
Dirjen Bimas Islam Depag RI, dan beberapa aturan lain. Kehadiran
Undang-undang Nomor 41 tahun 2004 menjadi angin segar bagi umat Islam dalam hal
perwakafan. Sebagai salah satu instrumen dalam pengelolaan wakaf dan sebagai
manifestasi hukum Islam, terutama di Indonesia perlu memperhatikan kendala
selama ini, misalnya: masih belum terformatnya peraturan teknis pengelolaan
wakaf, dan masih adanya kelemahan dalam pengaturan hukumnya. Jika kendala ini
dapat diatasi, maka dengan undang- undang ini terdapat peluang untuk
mengimplementasikan hukum Islam tentang wakaf demi kesejahteraan masyarakat.
Undang-undang ini
mengandang beberapa aspek:
a. Hukum Islam sudah
menjadi bagian yang teritegrasi dan terunifikasi dalam hukum nasional.
b. Benda wakaf dalam
undang-undang ini telah diperluas dari sebelumnya yang tidak hanya pada benda
tidak bergerak, namun juga benda bergerak, seperti uang, saham, dan surat
berharga lainnya.
c. Persyaratan nazir
ditambah dengan pengelolaan harta wakaf ditinjau dari aspek penyalurannya.
d. Konsekuensi hukum
bagi penyimpangan dalam pengelolaan harta benda wakaf telah diatur dalam undang
–undang, bahkan dikategorikan dalam tindank pidana. Namun dalam penjelasan
pasal 62 ayat (2) dinyatakan tentang pemeberlakuan upaya tahkim atau arbitrase.
Jika tidak bisa diselesaikan, maka diproses melalui pengadilan atau Mahkamah
Syar’iyyah.
1.3. Undang-undang
Nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan UU.N0. 7 tahun 1989 tentang Peradilan
Agama.
Gelombang pasang
surut institusi Peradilan Agama (Al-Qada’ fi al-Islam) di Indonesia berjalan
seiring dengan pasang surut peran politik umat Islam11.
Terjadi tarik menarik antara kepentingan politik penguasa dengan kepentingan
umat Islam. Di satu sisi motivasi politik penguasa yang ada menciptakan legal
policy yang mengedepankan nilai sekularisme, dengan dalih hukum Islam tidak
relevan dengan kondisi sosial serta pertimbangan pluralisme masyarakat. Di sisi
lain, umat Islam mempersepsikan bahwa hukum Islam dan lembaga Peradilan Agama
adalah bagian dari kewajiban agama yang bukumnya wajib kifayah untuk
dipertahankan dan dilaksanakan. Sejalan dengan kesadaran politik hukum umat
Islam dan meluasnya kebutuhan umat Islam terhadap lembaga Peradilan Agama
sebagai media untuk menyelesaikan perkara, serta perkembangan hukum Islam di
Indonesia yang begitu cepat, masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam
mendorong agar dibentuk undang-undang Peradilan agama, akhirnya terwujud
pada tahun 1989, selanjutnya untuk menyesuaikan perkembangan, diadakan
perubahan terhadap undang-undang ini dengan Undang-undang no. 3 tahun 2006.
Kewenangan Peradilan Agama pun menjadi kian luas meliputi sejumlah bidang
pekerjaan. Pertama: Perluasan kewenangan dalam memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara di bidang a. Perkawinan, b. Kewarisan, c. Wasiat, d.
hibah, e. Wakaf, f. Zakat, g. sadaqah, h. Infaq, dan i. Ekonimi Islam
(syari’ah). Kedua: penyelesaian sengketa hak milik atau keperdataan lainnya.
Ketiga: Memberikan isbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal bulan
tahun hijriyah.
BAB III
KESIMPULAN
Hukum Islam di bidang keluarga
menempati posisi sangat penting dalam hukum Islam, hal ini berkaitan dengan
kontribusinya yang amat signifikan di dalam upaya menciptakan kehidupan
masyarakat yang tertib dan harmonis. Itulah sebabnya di banyak negara Islam
atau yang mayoritas warganya beragama Islam, utamanya Indonesia, bidang hukum
ini senantiasa mendapatkan apresiasi tinggi yang dimanifestasikan dalam bentuk
upaya berkelanjutan untuk melegalkan /legislasi hukum Islam menjadi hukum
positf ke dalam berbagai produk peraturan perundang-udangan RI, antara lain
dapat disebutkan: Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan,
Undang-undang nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf, Undang-undang nomor 7 tahun
1989 yang dirubah dengan Undang-undang nomor 3 tahun 2006 tentang Peradilan
Agama, dan sebagainya.
Daftar pustaka :
Cik Hasan Bisri. 1997. Peradilan
Islam dalam Tantangan Masyarakat Indonesia. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Al-Mawarid
Edisi XVIII Tahun 2008
Refleksi
Penerapan Hukum Keluarga Di Indonesia Prof.
Dr. Nasaruddin Umar,MA Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama
SEJARAH PMII
SEJARAH SINGKAT
PERGERAKAN MAHASISWA ISLAM INDONESIA
A. PENGANTAR
Panggung
pergerakan merupakan medan utama mahasiswa dalam menancapkan api perjuangan di
Nusantara. Sejak dirangkai oleh visi kemerdekaan, dunia pemuda dan mahasiswa
tidak hanya jadi penonton “hitam putihnya Indonesia” yang baru lepas dari
belenggu kolonialisme. Hasrat yang kuat untuk membangun bangsa yang berkeadilan
tanpa diskriminasi dan berperadaban adalah isu utama kebangsaan yang diusung
oleh mahasiswa. Sejarah mencatat, gerakan mahasiswa awal yang dipelopori oleh
sekelompok mahasiswa STOVIA yang mendeklarasikan dirinya sebagai kelompok Budi
Utomo ( 20 Mei 1908 ) mampu memelopori perlawanan terhadap kungkungan
kolonialisme terhadap bangsa. Mahasiswa pada saat itu mampu mengejawantahkan
dirinya sebagai agent of change yang terus bergeliat mencari makna ke arah
perubahan yang lebih baik.
Pada dekade
1920-an, terdapat fenomena gerakan baru yang dilakukan oleh serombongan
mahasiswa Indonesia. Gerakan mahasiswa pada masa ini terkonsentrasi pada
wilayah pembentukan dan pengembangan kelompok-kelompok studi. Format baru
tersebut menjadi orientasi gerakan kala itu, karena banyak pemuda dan mahasiswa
yang kecewa dengan perkembangan kekuatan-kekuatan perjuangan di Indonesia.
Melalui kelompok studi, pergaulan di antara para mahasiswa pun tidak dibatasi
oleh sekat-sekat kedaerahan, kesukuan, dan keagamaan yang mungkin memperlemah
perjuangan mahasiswa. Selanjutnya, sebagai reaksi atas aneka-ragam
kecenderungan permusuhan atau perpecahan yang membahayakan persatuan dan
kesatuan bangsa. Dimana ketika itu, di samping organisasi politik, juga memang
terdapat beberapa wadah perjuangan pemuda yang bersifat keagamaan, kedaerahan,
dan kesukuan yang tumbuh subur, seperti Jong Java, Jong Sumateranen Bond, Jong
Celebes, Jong Ambon, Jong Batak, Jong Islamieten Bond, dan lain-lain. Maka
semangat perjuangan pemuda-pemuda Indonesia tersebut harus tercetuskan dalam
satu tekad tanpa sekat. Akhirnya, pada 27-28 Oktober 1928 diselenggarakan
Kongres Pemuda II, yang menghasilkan rumusan-rumusan baru untuk menyikapi
kondisi bangsa. Sumpah setia hasil Kongres Pemuda II tersebut, dibacakan pada
28 Oktober 1928, yang kemudian dikenal sebagai Sumpah Pemuda. Dari kebangkitan
kaum terpelajar, mahasiswa, intelektual, dan aktivis pemuda inilah, muncul
generasi baru pemuda Indonesia, angkatan 1928.
Sumpah Pemuda
sebagai alat pemersatu semangat kebangsaan mampu mempersatukan tekad para
pemuda untuk bersama dan bersatu dalam semangat persatuan Indonesia. Era
1940-an, para pemuda dan mahasiswa tidak hanya diam terpaku melihat kondisi
realitas bangsa yang carut marut tanpa kepastian. Pada tahun 1945, pemuda dan
mahasiswa mencoba untuk menyatukan persepsi dan segera merumuskan persiapan
kemerdekaan Indonesia. Melalui kalangan tua, Soekarno dan Hatta, yang didesak
beberapa tokoh muda untuk segera merumuskan persiapan kemerdekaan Indonesia,
akhirnya mengabulkan keinginan para pemuda. Dan memproklamasikan negara
Indonesia yang merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945. Pada momentum inilah,
fungsi gerakan pemuda Indonesia benar-benar menunjukkan partisipasi yang sangat
berarti. Indonesia merdeka yang menjadi impian bangsa Indonesia kini telah
terwujud. Tidak berhenti sampai disini.
Paska kemerdekaan Indonesia, pemuda dan mahasiswa terus bergerak untuk
berbenah, menyikapi kondisi bangsanya melalui sistim kepartaian yang ada.
Seiring dengan suasana Indonesia pada masa-masa awal kemerdekaan hingga
Demokrasi Parlementer, yang lebih diwarnai perjuangan partai-partai politik dan
saling bertarung berebut kekuasaan, maka pada saat yang sama, mahasiswa lebih
melihat diri mereka sebagai The Future Man; artinya, sebagai calon elit yang
akan mengisi pos-pos birokrasi pemerintahan yang akan dibangun. Bersamaan
dengan diberikannya ruang dalam sistem politik bagi para aktivis mahasiswa yang
memiliki hubungan dekat dengan elit politik nasional. Maka pada masa ini banyak
organisasi mahasiswa yang tumbuh berafiliasi dengan partai politik. Hingga
berujung pada masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), dan keinginan pemerintahan
Soekarno untuk mereduksi partai-partai, maka kebanyakan organisasi mahasiswa
pun membebaskan diri dari afiliasi partai dan tampil sebagai aktor kekuatan
independen, sebagai kekuatan moral maupun politik yang nyata. Dibuktikan dengan
terbentuk dan tergabungnya organisasi mahasiswa (termasuk PMII, GMKI, HMI,
Sekretariat Bersama Organisasi-organisasi Lokal -SOMAL-, Mahasiswa Pancasila
-Mapancas-, dan Ikatan Pers Mahasiswa -IPMI-) dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa
Indonesia (KAMI) untuk melakukan perlawanan terhadap paham komunis, memudahkan
koordinasi dan memiliki kepemimpinan.
B. LATAR
BELAKANG PEMBENTUKAN PMII
Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) lahir karena menjadi suatu kebutuhan dalam
menjawab tantangan zaman. Berdirinya organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia bermula dengan adanya hasrat kuat para mahasiswa NU untuk mendirikan
organisasi mahasiswa yang berideologi Ahlusssunnah wal Jama'ah. Dibawah ini
adalah beberapa hal yang dapat dikatakan sebagai penyebab berdirinya PMII:
1. Carut
marutnya situasi politik bangsa indonesia dalam kurun waktu 1950-1959.
2. Tidak
menentunya sistem pemerintahan dan perundang-undangan yang ada.
3. Pisahnya NU
dari Masyumi.
4. Tidak enjoynya lagi mahasiswa NU yang tergabung
di HMI karena tidak terakomodir dan terpinggirkannya mahasiswa NU.
5. Kedekatan HMI dengan salah satu parpol yang ada
(Masyumi) yang nota bene HMI adalah underbouw-nya.
Hal-hal
tersebut diatas menimbulkan kegelisahan dan keinginan yang kuat dikalangan
intelektual-intelektual muda NU untuk mendirikan organisasi sendiri sebagai
wahana penyaluran aspirasi dan pengembangan potensi mahasiswa-mahsiswa yang
berkultur NU. Disamping itu juga ada hasrat yang kuat dari kalangan mahsiswa NU
untuk mendirikan organisasi mahasiswa yang berideologi Ahlussunnah Wal Jama’ah.
Di Jakarta pada
bulan Desember 1955, berdirilah Ikatan Mahasiswa Nahdlatul Ulama (IMANU) yang
dipelopori oleh Wa’il Harits Sugianto.Sedangkan di Surakarta berdiri KMNU
(Keluarga Mahasiswa Nahdhatul Ulama) yang dipelopori oleh Mustahal Ahmad. Namun
keberadaan kedua organisasi mahasiswa tersebut tidak direstui bahkan ditentang
oleh Pimpinan Pusat IPNU dan PBNU dengan alasan IPNU baru saja berdiri dua
tahun sebelumnya yakni tanggal 24 Februari 1954 di Semarang. IPNU punya
kekhawatiran jika IMANU dan KMNU akan memperlemah eksistensi IPNU. Gagasan
pendirian organisasi mahasiswa NU muncul kembali pada Muktamar II IPNU di
Pekalongan (1-5 Januari 1957). Gagasan ini pun kembali ditentang karena
dianggap akan menjadi pesaing bagi IPNU. Sebagai langkah kompromis atas
pertentangan tersebut, maka pada muktamar III IPNU di Cirebon (27-31 Desember
1958) dibentuk Departemen Perguruan Tinggi IPNU yang diketuai oleh Isma’il
Makki (Yogyakarta). Namun dalam perjalanannya antara IPNU dan Departemen PT-nya
selalu terjadi ketimpangan dalam pelaksanaan program organisasi. Hal ini
disebabkan oleh perbedaan cara pandang yang diterapkan oleh mahasiswa dan
dengan pelajar yang menjadi pimpinan pusat IPNU. Disamping itu para mahasiswa
pun tidak bebas dalam melakukan sikap politik karena selalu diawasi oleh PP
IPNU. Oleh karena itu gagasan legalisasi organisasi mahsiswa NU senantisa
muncul dan mencapai puncaknya pada konferensi besar (KONBES) IPNU I di
Kaliurang pada tanggal 14-17 Maret 1960. Dari forum ini kemudian kemudian
muncul keputusan perlunya mendirikan organisasi mahasiswa NU secara khusus di
perguruan tinggi. Selain merumuskan pendirian organ mahasiswa, KONBES Kaliurang
juga menghasilkan keputusan penunjukan tim perumus pendirian organisasi yang
terdiri dari 13 tokoh mahasiswa NU. Mereka adalah:
1. A. Khalid
Mawardi (Jakarta)
2. M. Said
Budairy (Jakarta)
3. M. Sobich
Ubaid (Jakarta)
4. Makmun Syukri
(Bandung)
5. Hilman
(Bandung)
6. Ismail Makki
(Yogyakarta)
7. Munsif
Nakhrowi (Yogyakarta)
8. Nuril Huda
Suaidi (Surakarta)
9. Laily Mansyur
(Surakarta)
10. Abd. Wahhab
Jaelani (Semarang)
11. Hizbulloh
Huda (Surabaya)
12. M. Kholid
Narbuko (Malang)
13. Ahmad
Hussein (Makassar)
Keputusan
lainnya adalah tiga mahasiswa yaitu Hizbulloh Huda, M. Said Budairy, dan Makmun
Syukri untuk sowan ke Ketua Umum PBNU kala itu, KH. Idham Kholid. Pada tanggal
14-16 April 1960 diadakan musyawarah mahasiswa NU yang bertempat di Sekolah
Mu’amalat NU Wonokromo, Surabaya. Peserta musyawarah adalah perwakilan
mahasiswa NU dari Jakarta, Bandung, Semarang,Surakarta, Yogyakarta, Surabaya,
dan Makassar, serta perwakilan senat Perguruan Tinggi yang bernaung dibawah NU.
Pada saat tu diperdebatkan nama organisasi yang akan didirikan. Dari Yogyakarta
mengusulkan nama Himpunan atau Perhimpunan Mahasiswa Sunny. Dari Bandung dan
Surakarta mengusulkan nama PMII. Selanjutnya nama PMII yang menjadi
kesepakatan. Namun kemudian kembali dipersoalkan kepanjangan dari ‘P’ apakah
perhimpunan atau persatuan. Akhirnya disepakati huruf "P" merupakan
singkatan dari Pergerakan sehingga PMII menjadi “Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia”. Musyawarah juga menghasilkan susunan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah
Tangga organisasi serta memilih dan menetapkan sahabat Mahbub Djunaidi sebagai
ketua umum, M.Khalid Mawardi sebagai wakil ketua, dan M. Said Budairy sebagai
sekretaris umum. Ketiga orang tersebut diberi amanat dan wewenang untuk
menyusun kelengkapan kepengurusan PB PMII. Adapun PMII dideklarasikan secara
resmi pada tanggal 17 April 1960 masehi atau bertepatan dengan tanggal 17
Syawwal 1379 Hijriyah. Independensi PMII Pada awal berdirinya PMII sepenuhnya
berada di bawah naungan NU. PMII terikat dengan segala garis kebijaksanaan
partai induknya, NU. PMII merupakan perpanjangan tangan NU, baik secara
struktural maupun fungsional. Selanjuttnya sejak dasawarsa 70-an, ketika rezim
neo-fasis Orde Baru mulai mengkerdilkan fungsi partai politik, sekaligus juga
penyederhanaan partai politik secara kuantitas, dan issue back to campus serta
organisasi- organisasi profesi kepemudaan mulai diperkenalkan melalui kebijakan
NKK/BKK, maka PMII menuntut adanya pemikiran realistis. 14 Juli 1971 melalui
Mubes di Murnajati, PMII mencanangkan independensi, terlepas dari organisasi
manapun (terkenal dengan Deklarasi Murnajati). Kemudian pada kongres tahun 1973
di Ciloto, Jawa Barat, diwujudkanlah Manifest Independensi PMII. Namun,
betapapun PMII mandiri, ideologi PMII tidak lepas dari faham Ahlussunnah wal
Jamaah yang merupakan ciri khas NU. Ini berarti secara kultural- ideologis,
PMII dengan NU tidak bisa dilepaskan. Ahlussunnah wal Jamaah merupakan benang
merah antara PMII dengan NU. Dengan Aswaja PMII membedakan diri dengan
organisasi lain. Keterpisahan PMII dari NU pada perkembangan terakhir ini lebih
tampak hanya secara organisatoris formal saja. Sebab kenyataannya, keterpautan
moral, kesamaan background, pada hakekat keduanya tidak bisa di pisahkan.
C. MAKNA
FILOSOPIS PMII
1. Nama PMII
Nama PMII
merupakan usulan dari delegasi Bandung dan Surabaya yang mendapat dukungan dari
utusan Surakarta. Nama PMII juga mempunyai arti tertentu.
Makna
“Pergerakan” adalah dinamika dari hamba yang senantiasa bergerak menuju tujuan
idealnya yaitu memberi penerang bagi alam sekitarnya. Oleh karena itu PMII
harus terus berkiprah menuju arah yang lebih baik sebagai perwujudan
tanggungjawabnya pada lingkungan sekitarnya. Selain itu PMII juga harus terus
membina dan mengembangkan potensi ketuhanan dan kemanusiaan agar gerak dinamika
menuju tujuanya selalu berada dalam kualitas kekhalifahanya.
Makna “Mahasiswa” adalah generasi muda yang
menuntut ilmu di perguruan tinggi yang mempunyai identitas diri. Identitas diri
mahasiswa terbangun oleh citra sebagai Insan Religius, Insan Akademis, Insan
Sosial dan Insan Mandiri. Dari identitas tersebut terpantul tanggungjawab
keagamaan, intelektualitas, sosial-kemasyarakatan dan tanggungjawab individu
sebagai hamba Allah maupun sebagai warga Negara.
Makna “Islam” yang dipahami sebagai paradigma
Ahlussunnah Wal Jamaah yaitu konsep pendekatan terhadap ajaran agama Islam
secara proporsional terhadap Iman, Islam dan Ihsan, yang di dalam pola pikir
dan pola perlakuannya tercermin sifat-sifat selektif, akomodatif dan
integratif.
Makna “Indonesia” adalah masyarakat, bangsa
dan Negara Indonesia yang mempunyai falsafah dan ideologi bangsa serta UUD
1945. Dan mempunyai komitmen kebangsaan sesuai dengan asas Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
2. Lambang PMII
Lambang PMII
diciptakan oleh H. Said Budairi. Lazimnya lambang, lambang PMII memiliki arti
yang terkandung di setiap goresannya. Arti dari lambang PMII bisa dijabarkan
dari segi bentuknya (form) maupun dari warnanya.
Dari bentuk :
a. Perisai berarti ketahanan dan keampuhan mahasiswa
Islam terhadap berbagai tantangan dan pengaruh luar
b. Bintang
adalah perlambang ketinggian dan
semangat cita- cita yang selalu memancar
c. Lima bintang sebelah atas menggambarkan
Rasulullah dengan empat Sahabat terkemuka (Khulafau al Rasyidien)
d. Empat bintang sebelah bawah menggambarkan empat
mazhab yang berhauan Ahlussunnah Wal Jama’ah
e. Sembilan bintang sebagai jumlah bintang dalam
lambing dapat diartikan ganda yakni :
- Rasulullah
dan empat orang sahabatnya serta empat orang Imam mazhab itu laksana bintang
yang selalu bersinar cemerlang, mempunyai kedudukan tinggi dan penerang umat
manusia.
-
Sembilan orang pemuka penyebar agama
Islam di Indonesia yang disebut WALISONGO.
Dari warna :
a.
Biru,
sebagaimana warna lukisan PMII, berarti kedalaman ilmu pengetahuan yang harus
dimiliki dan digali oleh warga pergerakan. Biru juga menggambarkan lautan
Indonesia yang mengelilingi kepulauan Indonesia dan merupakan kesatuan Wawasan
Nusantara
b.
Biru
muda, sebagaimana warna dasar perisai sebelah bawah, berarti ketinggian ilmu
pengertahuan, budi pekerti dan taqwa.
c.
Kuning,
sebagaimana warna dasar perisai- perisai
sebelah bawah, berarti identitas kemahasiswaan yang menjadi sifat dasar
pergerakan lambang kebesaran dan semangat yang selalu menyala dalam membela
kepentingan kaum marginal.
3. KETUA UMUM PB PMII ( 1960-2013)
1. (Alm) Mahbub
Djunaidi (1960-1961)
2. (Alm) Mahbub
Djunaidi (1961-1963)
3. (Alm) Mahbub
Djunaidi (1963-1967)
4. (Alm) M.
Zamroni, BA (1967-1970)
5. (Alm) Drs. M.
Zamroni, (1970-1973)
6. Drs. Abduh
Paddere (1973-1977)
7. Ahmad Bagdja
(1977-1981)
8. Muhyiddin
Arubusman (1981-1985)
9. Iqbal Assegaf
(1985-1989)
10. Ali Masykur
Moesa (1989-1994)
11. Muhaimin
Iskandar (1994-1997)
12. Saiful Bahri
Anshori (1997-2000)
13. Nusron Wahid
(2000-2003)
14. Malik
Haramain (2003-2005)
15. Heri
Haryanto Azumi (2005-2008)
16. M.Rodli
Khaelani (2008-2010)
17. Adien
Zauharudin ( 2011-2013 )
Langganan:
Postingan (Atom)